Akhiya menelan ludahnya susah payah. Sesial itukah kehidupan warga di sini? Dan, apakah ayah dan ibunya tahu perihal cerita ini? Jika tahu, mengapa mengajak Akhiya kemari, ke kampung terkutuk ini?
Si Lelaki tua kembali berkata, "Garis keturunan keluargamu adalah ahli nujum, Anak Muda. Sayangnya, ayah dan ibumu sudah bersumpah tidak akan menyelamatkan kampung ini dari peristiwa-peristiwa seperti yang terjadi berbulan-bulan lamanya. Salah kami juga terhadap orang tuamu."
Akhiya baru mengetahui perihal ini. Dia tahu orang tuanya sebagai ahli nujum, tetapi cerita tentang sumpah itu? Secuil pun Akhiya tidak tahu menahu. Akhiya menatap wanita yang masih histeris, memeluk bayi yang tiada bernyawa dalam kesedihan yang begitu menggelora.
"Lantas, Tuan, apakah tentang Penyihir yang hendak dibunuh para warga itu memang pelaku dari semua ini?" Penasaran sekali Akhiya akan kebenaran tersebut.
Menghela napas panjang, lelaki tua menatap langit biru yang cerah. Keadaan sekeliling bising sekali. Gurat menua di wajah lelaki itu sebagai bukti bahwa sejarah melekat pada ingatannya yang renta.
"Nak, wanita yang ditinggalkan suami serta wanita-wanita tua yang dianggap penyihir adalah orang yang mudah disalahkan. Di mana setiap peristiwa menyedihkan seperti ini akan dianggap ulah mereka. Aku ingin sekali membuka mata hati mereka bahwa ini tidaklah benar, tetapi aku hanya lelaki tua yang bisa mati detik ini juga. Oya, siapa namamu, Anak Muda?"
"Akhiya, Tuan."
"Nama yang bagus, Nak. Di mana ayah dan ibumu sekarang?"
"Bekerja. Pergi pagi kemarin, sampai sekarang belum kembali. Aku khawatir akan mereka. Tapi, aku percaya mereka baik-baik saja, karena mereka adalah ahli nujum."
Lelaki tua mengangguk, menepuk kepala Akhiya dan berdiri pergi. Akhiya mengikutinya, dia tertarik saat lelaki tua itu berjalan ke arah tempat di mana separuh warga berlari mencari sosok yang dianggap mereka sebagai penyihir. Saat melalui kuburan, Akhiya mendengar tangisan-tangisan tanpa wujud.
Bergetar tubuhnya!