Mohon tunggu...
Pris Chania
Pris Chania Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Blog yang dibuat untuk kumpulan Cerpen karya Pris Chania

Hidup adalah belajar, belajar dari segala hal. Jangan cepat puas, karena esok masih ada.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Siapa Penyihir Asli?

12 Juni 2022   12:37 Diperbarui: 23 September 2024   20:56 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tuhan, apa yang orang itu lakukan?"

Perempuan berambut hitam sebahu itu tahu bahwa sosok yang tengah menggali kuburan yang baru berisi pagi tadi itu adalah manusia, bukan dedemit dan sebangsanya. Akhiya melihat petir menari-nari di cakrawala, memberikan pencahayaan sekejap.

Di mana Akhiya dapat melihat sosok tersebut menimbun kuburan itu kembali setelah isinya diambil. Bulu kuduk Akhiya benar-benar meremang saat kilatan muncul dan sosok itu tidak lagi tampak di sekitar kuburan kampung. Akhiya segera menutup jendela, berlari ke kasur dan menghidupkan lilin.

Dia memang suka gelap, tetapi tidak dengan keadaan seperti saat ini. Tubuhnya bergetar hebat. Akhiya ingin malam segera berlalu dengan orang tuanya yang cepat pulang dari bekerja. Akhiya tidak ingin dimakan suasana mencekam, terlebih telinganya yang mendengar suara ketukan di jendela.

Bayangan berjubah saat kilat menyambar dan tirai jendela yang berkibar membuat Akhiya semakin bergetar, memeluk dirinya sendiri. Sosok itu tidak lagi mengetuk, tetapi menulis sesuatu di kaca jendela kamar Akhiya.

Sekejap lagi, sosok berjubah hilang ditelan keheningan. Akhiya menangis di bawah selimutnya. Lagi dan lagi api lilin tidak bertahan. Angin yang membuatnya mati. Akhiya benar-benar tidak suka dengan keadaan seperti ini.

*

Merah serupa darah, beku melekat di kaca jendela. Anyir tercium menyengat indra pembau. Tulisan itu jelas mengancam, mengancam serupa maut di depan mata. Gigil tubuh tampak begitu hebat. Bukan sebab dingin yang mendera, melainkan perasaan cemas yang merengkuh begitu hebat.

Akhiya tidak tahu yang terjadi di kampung itu sebenarnya. Entah terkutuk, entah pula tersebab dendam. Kaca jendelanya berlubang dengan estetik, membentuk huruf demi huruf sebanyak empat, merangkai satu kata 'mati'.

Orang tuanya tiada pulang, sedari kemarin pagi. Pagi telah disorot matahari cerah, membias segala ruang bumi. Sesal mesti ada terpatri di dada. Akan tetapi, Akhiya tidak tahu mesti apa lagi. Semenjak menginjak kaki di tanah perkampungan itu, jelas dia rasakan keanehan yang kentara.

"Mungkin aku bisa bertanya pada warga apa yang terjadi," bisiknya mengikat rambut dan bergegas ke luar kamar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun