Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hari Ketika Kau Menghilang

10 Maret 2020   14:39 Diperbarui: 10 Maret 2020   16:11 250
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

/1/

Setiap tanggal 9 Maret kita merayakan Hari Musik Nasional. Setiap tanggal 9 Maret pula, aku merayakan hari kehilanganmu.

Lalu pagi ini setelah lima tahun berselang, kau mendadak muncul di Facebook. Sebuah permintaan pertemanan. Aku sempat ragu apakah harus menerima atau menolakmu.

Namun, sungguh celaka, apabila aku menolak atau mendiamkanmu, kau akan menganggapku sebagai pria gagal move on. Kau akan berpikir, percuma tahun demi tahun berlalu, tapi aku tak bisa melupakanmu. Meski memang, mana mungkin aku bisa melupakanmu.

Beberapa detik setelah kuterima, sebuah pesan masuk. Kau.

"Hai, Yan, apa kabar?"

Klise sekali. Sapa setelah sekian lama, kau bertanya kabarku. Basa-basi macam apa itu.

"Kau tahu kan apa yang seharusnya kaulakukan?"

Begitu balasanku. Begitu kalimat pertama yang kuucapkan kepadamu. Kemarahan. Kecemasan. Aku tak tahu jenis perasaan apalagi yang menyeruak dari lubuk hati.

"Ya... seharusnya aku minta maaf," balasmu kemudian.

/2/

Namamu Sekar. Hanya Sekar. Aku pikir arti namamu adalah bunga. Namun, kau menampiknya. "Itu Sekar dalam bahasa Jawa. Sekar dalam Sansekerta beda lagi. Artinya puncak."

Itu mungkin kencan pertama kita. Kau minta aku menemanimu mencari buku di Gramedia. Aku sengaja memakai kata mungkin sebab aku sendiri tak yakin kapan kita jadian. Kedekatan datang begitu saja dan tahu-tahu kita jalan berdua. 

Dalam perjalanan itu, bahkan tak ada setan yang mampu menggodaku untuk menggenggam erat tanganmu. Pandangan mata telah menjadi bahasa terbaik buat kita berdua. Tidak kubayangkan bagaimana kau di balik kerudungmu yang begitu lebar itu. 

Aku lebih banyak diam. Lagu Somewhere Over the Rainbow mengalun pelan. Aku meresapi lagu itu sambil mendengarkan cerita demi ceritamu, dan itu sudah membuat aku senang.

"Sepupuku ada yang di Kairo."

"Lalu?"

"Kamu tahu Ikhwanul Muslimin?"

"Tidak."

"Di sana genting. Demokrasi tidak seperti di sini."

"Segenting apa?"

"Bayangkan saja karena berkumpul suatu malam, bisa saja kau ditangkap dan diseret ke penjara."

"Persis seperti Orde Baru?"

"Aku tidak tahu banyak soal Orde Baru."

"Oh."

"Nanti, kamu rencana kuliah di mana?"

"Belum tahu. Kamu, Sekar?"

Sekar juga menggeleng. "Kamu mau kukenalin dengan Bang Himam, sepupuku itu?"

/3/

Lalu sepupumu itu menghubungiku suatu malam.

"Kamu Yansen? Aku abangnya Sekar."

Sebuah pesan masuk tak lama setelah hari itu.

"Abang dengar dari Sekar, kamu suka musik. Kamu tahu nggak kalau musik itu haram?"

/4/

Hari itu musik menghilang dari hidupku. Gitar kesayanganku kuberikan kepada tetangga. 

Namun, tidak masalah, sebab kau semakin sering mengajakku bertemu. Kau menjadi musik baru dalam hidupku.

"Kamu mau menemaniku mengenali Palembang?"

"Karena?"

"Pernah nggak sih kamu merasa, kita sebagai orang Palembang, lahir dan besar di sini, tapi tidak tahu apa-apa selain pempek dan cuka?"

"Aku juga tahu duku dan durian."

"Ah, kamu.... kamu pernah ke Bukit Siguntang?"

Aku menggeleng.

"Maksudku, ada banyak hal yang belum kita alami, kita temui di sini. Ini semacam sindrom orang lokal, gagal mengenal lokalitasnya sendiri."

Kamu memang serandom ini. Aku menyimak.

"Karena itu orang Betawi tersingkir dari Jakarta. Orang mbilung tersingkir ke pedalaman, karena mula-mula mereka merasa nyaman dengan hidupnya. Asik dengan rumahnya, tapi tak menggali lagi."

"Jadi, kapan kita ke Bukit Siguntang?"

"Nggak."

"Lho?"

"Akhir pekan ini temani aku ke Benteng Kuto Besak."

Maka, kencan kedua, kita pergi ke Benteng Kuto Besak, memandangi Ampera yang mengangkangi Sungai Musi yang keruh. Kita tidak pernah melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana jembatan itu pernah terangkat setiap kali ada kapal-kapal besar lewat. Semua itu tinggal sejarah.

"Di balik sesuatu yang indah, ada hal yang menyakitkan," katamu saat kita asik meminum cuka di warung perahu di sisi sungai Musi.

"Maksudmu?"

"Ampera."

"Ampera?"

"Amanat Penderitaan Rakyat. Kamu lupa pelajaran soal itu?"

Hari-hariku terasa semakin seru. Berdialog denganmu membuatku mengenali dunia baru. Aku tidak pernah mengenal seseorang sepertimu, dengan pengetahuan dan perhatian terhadap hal-hal yang unik. 

Kau pun mulai sering bercerita tentang keluargamu. Adikmu. Kebanyakan sepupumu. Dan entah kenapa mereka pun sering mengirim pesan kepadaku. Mungkin benar kalau kita mencintai seseorang, kita bukan hanya harus mencintai dirinya, melainkan juga seluruh hal yang ada di belakangnya. 

Hanya saja, ketika akhirnya kau mau kuantar pulang, kau memintaku menurunkanmu di sebuah simpang. Aku tidak boleh benar-benar sampai halaman rumahmu.

"Kenapa?" tanyaku.

"Perjalanan kita masih teramat panjang," jawabmu.

/5/

Lalu tiba-tiba kau menghilang. Aku tidak bisa menghubungi ponselmu sama sekali.

Malah orang tuamu yang datang ke sekolah, mencariku, bertanya apakah aku menyembunyikanmu. Ya, aku menyembunyikanmu di dalam hatiku. 

Setelah itu, aku baru tahu bahwa sebagian besar ceritamu adalah imajinasi. Kau anak tunggal. Ayahmu anak tunggal. Ibumu juga anak tunggal. Karena itu mana mungkin kau punya adik, apalagi sepupu.

Hari itu, 9 Maret, kau menghilang dari hidupku. Musikku yang tersisa, kini telah tak ada.

Bahkan hari demi hari, sekolah berakhir, kumis dan janggutku tumbuh, kau tetap tak ada. 

Aku jadi teringat suatu hari kau pernah berkata, "Bagaimana jika suatu hari nanti kita tinggal di sebuah tempat yang tak ada dalam peta dunia?"

/6/

"Maaf?"

"Boleh aku jelaskan?"

"Buat apa? Setelah sekian lama?"

Aku terdiam membayangkan lima tahun yang terlewat tanpa kabar dari dia. Bahkan setelah dia tidak masuk sekolah lagi, aku tidak mau ambil pusing apakah keluarganya menemukannya atau tidak. Aku tidak mau lagi diikutsertakan dalam keabsurdan ini.

"Yan, izinkan aku cerita. Aku kangen."

Kangen? Jenis perasaan apa pula itu?

"Kamu boleh tidak merespons. Tapi tolong simak aku."

Ke mana kamu waktu tangisku ingin disimak? Hari ketika kau menghilang, hujan turun, seakan-akan langit menurunkannya untuk menyamarkan air mataku. Minggu yang benar-benar kelabu. Musikku menjadi tunggal. Tapi bukan tentang kamu. Gloomy Sunday merasuk ke sukma. Kueja lirik demi liriknya sambil menunggumu. Tapi tak ada jua ada kabar darimu.

Minggu yang muram, waktuku tiada lelap
Sayang, bayang-bayang yang hidup bersamaku tiada terhitung

"Kamu masih ingat kakak sepupuku? Ikhwanul Muslimin menang pemilu di Mesir. Tapi junta militer melakukan kudeta. Banyak aktivis ditangkap, dipenjara, termasuk Bang Himam. Aku diam-diam sudah mengumpulkan tabungan, menyiapkan segala sesuatunya, dan aku terbang ke Kairo untuk menjenguknya."

Kepalaku serasa dipukul palu. Cerita tidak masuk akal apalagi ini?

"Setelah itu, aku tidak tahu di mana. Aku tersesat dalam sebuah tempat yang tidak ada dalam peta dunia."

Sekar tampak masih mengetik sesuatu, tapi aku tidak tahan terhadap kata-katanya lagi.

Tanpa ragu, kucari pilihan untuk memblokirnya. Biar yang pernah menghilang, sebaiknya jangan pernah kembali.

(2020)

Tulisan ini dibuat untuk diikutsertakan dalam event Sambung Menyambung Menjadi Konten. Saya bagian dari #TimLenjer yang terdiri dari Haryadi Yansyah, Kartika Kariono dan Pringadi Surya.

1. Secuil Kisah bersama Mantan Berkepribadian Ganda

2. Pangan Hitam dari Tanah Hitam Bumi Ganesha

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun