Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Malimbu

15 Maret 2018   14:27 Diperbarui: 17 Maret 2018   03:19 1126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dia  bukan Raden." Hanya sampai di situ, aku paham, kau mulai berpikir bahwa  sia-sia segala cinta di hadapan adat. Perbedaan status membuat  seseorang harus memilih untuk kehilangan sesuatu demi mendapatkan  sesuatu yang lain. Keserakahan---ingin mendapatkan keduanya---justru akan  mengabukan segalanya.

"Lale, cinta kadang-kadang menjadi kekal  karena perpisahan." Aku memandanginya lagi. Matanya seperti danau,  menyimpan kedalaman. Ikan-ikan yang berenang sulit dipancing. Dan bila  bulan penuh, pantulannya begitu sempurna.

"Kau masih mencintaiku?"

Aku diam.

"Kau  mau kawin lari denganku?" tanyamu lagi. Kau pernah mengajukan  pertanyaan yang sama lima tahun lalu. Saat itu aku anggap kau sedang  bergurau. Pun saat ini, jangan-jangan kau juga tengah bergurau.  Bagaimana mungkin, kau akan melepaskan status kebangsawananmu, sebagai  seorang Lale. Aku membacanya sebagai dua kemungkinan: pertama, kau masih  mencintaiku, dan kedua, kau sudah amat lelah dengan statusmu itu.  Laki-laki yang tepat yang kau temui tidak bernama Raden. Dan kau ingin  lari, melepaskan beban beratmu padaku---masa lalumu, yang begitu polos  dalam mencintaimu.

"Bila kau harus diusir dari keluargamu, dan tak pernah diizinkan untuk kembali?" Giliran aku yang melempar pertanyaan.

Kota  Selong lebih dingin saat malam hari. Tapi, Aekmal jauh lebih dingin.  Tadinya, hubungan kita bakda berpisah tak bisa disetarakan dengan  keduanya. Kau tak pernah memberi kabar, meski debar di dadaku masih  serupa dengan saat pertama bertemu denganmu. Lima tahun ini aku  merindukanmu dan mencari wajahmu dalam kata-kata yang biasa kau rangkai.  Suratmu masih aku simpan. Kenangan mengenai dirimu masih aku pendam.

"Aku tak peduli," jawabmu layu.

"Lale, di hadapan api, kita hanya abu."

"Kau sudah benar-benar menjadi penyair ya sekarang, Fatih?"

"Aku belajar dari kau."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun