“Jadi kalau Sari tidak ikut, Mas akan ikut?”
“Tidak juga.”
“Jadi itu cuma alasan?”
“Ya, itu hanya sebuah alasan.”
“Kenapa Mas mengajak Sari bertemu malam ini?”
Tiba-tiba pertanyaanmu menohok. Saya diam, menghela napas panjang dan berkata, “Sari tahu kenapa Mas suka pantai? Itu karena pasirnya. Banyak yang menganggap remeh pasir-pasir itu, tapi siapa yang sanggup menghitung berapa banyak pasir yang ada di pantai?” Seperti itu juga perasaan saya.
Kita terlalu sering seperti ini. Melempar pertanyaan bukan untuk menemukan jawaban. Kamu mungkin tak ingat, pada mula berkenalan, kamu duluan yang memberiku pertanyaan saat melihat Tanjung Menangis, memutar kembali kisahnya, dan kala itu saya mengingat Tuan Alien, dan berharap semoga saja dia sedang berkelana ke ujung dunia, kalau bukan musim kolong, Tanjung Menangis tak mungkin ujung dunia. Di ujung dunia, ombak-ombak akan setinggi gunung, ombak-ombak yang lapar, ombak-ombak yang kalut karena tersingkir dari kehidupan.
“Mas ingin membangun rumah yang sederhana dengan banyak jendela. Bertingkat dua dan menghadap ke laut. Kamu?”
“Berapa kamar?” tambahmu sambil menopang dagu.
“Dua.”
“Mas tahu cara mengisi kekosongan hati?” tanyamu lirih.