“Iya deh.” jawab Stefa bingung.
Mereka berdua pun pergi ke salah satu mall yang ada di kota Malang. Stefa masih berusaha membiasakan diri dengan kebersamaannya dengan Eza. Tapi, sebenarnya dia sangat nyaman bersama Eza. Setelah mereka bosan keliling. Eza mengajak makan Stefa di salah satu restoran fast food yang dekat dengan alun-alun kota.
“Kamu mau ngomong apa?” Tanya Stefa setelah mereka selesai memesan makan dan duduk.
“Emmm….” Eza gugup. Karena ia tidak mungkin siap dan sanggup kehilangan Stefa. Gadis yang selama ini ia cintai dan ia lindungi.
“Kok gugup sih?” Tanya Stefa mendesak.
“Permisi. Ini pesanannya.” seorang waitres mengantarkan pesanan mereka.
“Makasih.” sahut keduanya.
“Apa kamu gak akan marah kalo aku jujur hal yang sebenarnya sama kamu?” Tanya Eza memastikan.
Stefa terlihat bingung saat Eza menanyakan itu.
“Aku perjelas aja karena aku tau kamu tidak suka muter-muter.” jawab Eza akhirnya. ”Aku cinta kamu. Sejak pertama kita ketemu. Dan karena aku tahu kamu mungkin tidak gampang menerimaku, makanya aku pengen kita lupain ini. Aku cukup lega udah jujur. Paling nggak, bebanku nggak terasa berat. Kita masih temenan kan meskipun sudah ada pengakuan dariku? Pengakuan yang mungkin gak akan kamu terima dengan gampang.” penjelasan Eza panjang lebar membuat Stefa hanya bisa terdiam. Bahkan nasi yang tadinya mau dia makan berhenti di udara.
Stefa memang menyukai kehadiran Eza. Tapi bukan berarti dia mencintai Eza seperti yang Eza katakan padanya. Menolak? Tapi apa alasannya? Menerima? Jelas tidak mungkin. Karena prinsipnya ‘sahabat ya akan selamanya jadi sahabat. Gak akan berubah sampai kapanpun.’ Tapi disisi lain ia sering deg-degan saat bersama Eza. Apa aku juga merasakan cinta? Pertanyaan demi pertanyaan mengalir di benak Stefa.