Hikmah dari kedua hadis di atas adalah bahwa Rasulullah Saw tidak mengatakan, "yang ini benar, yang ini salah", atau "kamu sudah mengikuti sunnah, sedangkan kamu bid'ah".
Dalam memahami perintah/sunnah Rasulullah Saw. seperti kasus diatas, para sahabat berbeda pendapat, namun dua-duanya bermaksud menaati Rasulullah Saw. Hanya caranya yang berbeda.
Memahami Perbedaan Awal Puasa dengan Bijaksana
Sama seperti ketika umat Islam terlibat ikhtilaf dalam penentuan awal Ramadan atau Hari Raya (Idulfitri dan Iduladha).
Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah Saw. bersabda,
Bulannya begini dan begitu (beliau Saw. kemudian menarik ibu jarinya untuk ketiga kalinya). Kemudian beliau Saw. bersabda: Puasalah jika kamu melihatnya (lirukyati), dan berbukalah ketika kamu melihatnya, dan jika cuaca mendung, hitunglah (bulan Sya'ban dan Syawwal) sebagai tiga puluh hari. (Sahih Muslim)
Dalam hadis lain dari Abdullah bin Umar, Rasulullah Saw. bersabda,
Bulan Ramadan dapat terdiri dari dua puluh sembilan hari. Maka janganlah berpuasa sampai kamu melihatnya (bulan baru) dan jangan berbuka sampai kamu melihatnya (bulan baru Syawal), dan jika langit mendung bagimu, maka hitunglah. (Sahih Muslim)
Dalam memahami hadis tersebut, golongan pertama berpendapat, kalau zhahir perintah Nabi Saw. hilal (bulan baru) itu harus dirukyat, ya harus dirukyat sampai akhir jaman. Entah sudah ada ilmu hisab, mau manusia sudah bisa pergi ke bulan, ya tetap harus rukyat. Nah, yang demikian ini tipe pemahaman tekstual (contoh si A).
Sedangkan golongan kedua berpendapat kalau jaman sekarang bisa disebut berpemahaman kontekstual. Memahami perintah Rasulullah Saw. tidak secara zhahir, namun disertai aspek-aspek lain dan lebih menekankan semangat daripada makna yang tersurat.
Contohnya, perintah Nabi Saw. bahwa hilal itu harus dirukyat. Dalam pemahaman golongan ini, Nabi Saw memerintahkan demikian karena pada masa itu satu-satunya cara yang paling memungkinkan untuk menentukan awal bulan adalah dengan merukyat (melihat hilal). Meski begitu, semangatnya adalah yang penting kita bisa mengetahui kedatangan bulan Ramadan. Inilah tipe pemahaman kontekstual (contoh si B).
Yang harus kita contoh dalam menghadapi masalah khilafiyah adalah seperti sikap Rasulullah Saw. Di mana beliau tidak mencela pemahaman tekstual maupun kontekstual dalam memahami teks-teks keagamaan atau hukum fiqih.