Sebenarnya kesalehan sosial melalui tradisi salam tempel tidaklah buruk. Namun memiliki sisi yang kontradiktif.
Memberikan salam tempel pada anak-anak bisa menjadi perwujudan rasa syukur kita atas kelebihan rezeki yang kita punya. Apalagi ketika melihat senyum bahagia anak-anak ketika menerima salam tempel dari kita. Ada kebahagiaan tersendiri yang tidak bisa dilukiskan.
Di satu sisi, membiasakan anak-anak menerima salam tempel dikhawatirkan dapat menanamkan benih jiwa meminta-minta. Saat lebaran tiba mereka hanya memikirkan salam tempelnya. Bukan pembelajaran untuk menyambung tali silaturahim dengan saling berkunjung ke kerabat dan tetangga. Bukan pula pembelajaran untuk bersikap menghormati hidangan yang sudah disajikan tuan rumah ketika mereka berkunjung.
Pernah seorang tetangga mengeluh, "Anak-anak itu lho, disuruh duduk sebentar nyicipin kue-kuenya kok gak mau ya. Malah saling senggol dan bisik-bisik, terus yang paling besar ngomong, "Sudah pak, terima kasih. Kami terburu-buru, belum berkunjung ke yang lain"."
"Itu karena mereka mengharap sangu Mbak," sahutku tersenyum.
Sementara tetangga lain yang sudah paham kelakuan anak-anak itu berkata, "Ya daripada repot-repot membuat minuman dan menyediakan kue bagi anak-anak mending diberi uang lembaran yang baru, mereka pasti senang dan akan langsung pergi, daripada disuguhi air minum (sirup dan sejenisnya) dan mereka bisa jadi memecahkan gelas-gelas mahal yang dipakai."
Pengalaman seperti inilah yang kadang membuat aku berpikir dan khawatir, kita sendiri sudah menanam benih mental mental meminta-minta uang saat lebaran tiba. Perilaku ini menjadikan anak-anak jadi terbiasa meminta dan buruknya menjadi biasa dengan perilaku mengemis. Sehingga esensi saling berkunjung untuk menyambung tali silaturahim di hari raya seolah menghilang. Yang dinanti anak-anak tak lain cuma salam tempel belaka.Â
Alternatif Salam Tempel
Mungkin, kebiasaan salam tempel dalam wujud uang ini bisa kita ganti dalam bentuk lain. Ada pengalaman unik ketika di rumah Ibuku kedatangan anak-anak kecil. Entah karena saat itu tidak siap dengan uang untuk salam tempel atau disengaja, ketika anak-anak itu datang, Ibu berkata, "Hari ini tidak ada sangu ya Le, diganti doa saja." Dan anehnya, anak-anak itu pun menurut. Mereka dengan takzim kemudian duduk rapi mengitari meja, dan kemudian mengangkat tangan, mengaminkan doa dari ibuku.
Bisa pula kita ganti dengan goody bag berisi kue-kue dan minuman, seperti goody bag yang biasa mereka dapatkan ketika temannya merayakan ulang tahun. Memang merepotkan dan sedikit mahal, tapi paling tidak tetap bisa membuat mereka bahagia di hari raya. Dengan begitu kita bisa menanamkan kesadaran pada anak-anak, bahwa Hari Raya Idulfitri tak harus identik dengan memperoleh sangu atau salam tempel di setiap rumah yang mereka kunjungi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H