Mengenang Tradisi Salam Tempel Jaman Dulu
"Din, kamu sudah ke rumah Abah Rauf? tanya Amir pada Udin.
Saat itu sudah sore hari, beberapa anak berkumpul di beranda mushola kampung, saling membandingkan salam tempel yang mereka dapatkan setelah hampir setengah hari berkeliling mengunjungi tetangga-tetangga sekitar.
"Belum, memangnya kenapa?"
"Wah rugi kalau kamu gak ke sana. Abah Raouf ngasih uangnya banyak, sepuluh ribu lho Din. Gak kayak Bu Rahmia. Masak tadi aku kesana cuma dikasih dua ribu."
Ya, Seperti itulah suasana masa kecilku dulu. Saat lebaran tiba tak ada yang lebih dipikirkan anak-anak selain salam tempel.
Usai salat Ied di masjid, kami pun biasa beramai-ramai dengan teman-teman berkunjung ke rumah tetangga. Hampir setiap rumah di kampung kami kunjungi.
Setiap kali kami berkunjung, kami ditawari kue-kue yang sudah dihidangkan rapi di meja tamu. Namun bukan itu tujuan utama kami, melainkan salam tempelnya.
Waktu kecilku dulu, setiap anak biasa mendapat salam tempel seratus rupiah. Nilai segitu pada jaman aku kecil sudah terhitung besar. Karena itu, tak heran jika di rumah tetangga saya yang terhitung kaya, ramai dikunjungi anak-anak.Â
Meskipun tidak kenal sekalipun, kami yang masih berjiwa polos nekat bertamu, sekedar mengharapkan salam tempel dari tuan rumah. Dan sore harinya ketika semua tetangga sudah dikunjungi, kami pun membandingkan perolehan salam tempel yang kami dapatkan.Â
Kontradiksi Salam Tempel, dari Kesalehan Sosial Menjadi Budaya Mengemis
Sebenarnya kesalehan sosial melalui tradisi salam tempel tidaklah buruk. Namun memiliki sisi yang kontradiktif.
Memberikan salam tempel pada anak-anak bisa menjadi perwujudan rasa syukur kita atas kelebihan rezeki yang kita punya. Apalagi ketika melihat senyum bahagia anak-anak ketika menerima salam tempel dari kita. Ada kebahagiaan tersendiri yang tidak bisa dilukiskan.
Di satu sisi, membiasakan anak-anak menerima salam tempel dikhawatirkan dapat menanamkan benih jiwa meminta-minta. Saat lebaran tiba mereka hanya memikirkan salam tempelnya. Bukan pembelajaran untuk menyambung tali silaturahim dengan saling berkunjung ke kerabat dan tetangga. Bukan pula pembelajaran untuk bersikap menghormati hidangan yang sudah disajikan tuan rumah ketika mereka berkunjung.
Pernah seorang tetangga mengeluh, "Anak-anak itu lho, disuruh duduk sebentar nyicipin kue-kuenya kok gak mau ya. Malah saling senggol dan bisik-bisik, terus yang paling besar ngomong, "Sudah pak, terima kasih. Kami terburu-buru, belum berkunjung ke yang lain"."
"Itu karena mereka mengharap sangu Mbak," sahutku tersenyum.
Sementara tetangga lain yang sudah paham kelakuan anak-anak itu berkata, "Ya daripada repot-repot membuat minuman dan menyediakan kue bagi anak-anak mending diberi uang lembaran yang baru, mereka pasti senang dan akan langsung pergi, daripada disuguhi air minum (sirup dan sejenisnya) dan mereka bisa jadi memecahkan gelas-gelas mahal yang dipakai."
Pengalaman seperti inilah yang kadang membuat aku berpikir dan khawatir, kita sendiri sudah menanam benih mental mental meminta-minta uang saat lebaran tiba. Perilaku ini menjadikan anak-anak jadi terbiasa meminta dan buruknya menjadi biasa dengan perilaku mengemis. Sehingga esensi saling berkunjung untuk menyambung tali silaturahim di hari raya seolah menghilang. Yang dinanti anak-anak tak lain cuma salam tempel belaka.Â
Alternatif Salam Tempel
Mungkin, kebiasaan salam tempel dalam wujud uang ini bisa kita ganti dalam bentuk lain. Ada pengalaman unik ketika di rumah Ibuku kedatangan anak-anak kecil. Entah karena saat itu tidak siap dengan uang untuk salam tempel atau disengaja, ketika anak-anak itu datang, Ibu berkata, "Hari ini tidak ada sangu ya Le, diganti doa saja." Dan anehnya, anak-anak itu pun menurut. Mereka dengan takzim kemudian duduk rapi mengitari meja, dan kemudian mengangkat tangan, mengaminkan doa dari ibuku.
Bisa pula kita ganti dengan goody bag berisi kue-kue dan minuman, seperti goody bag yang biasa mereka dapatkan ketika temannya merayakan ulang tahun. Memang merepotkan dan sedikit mahal, tapi paling tidak tetap bisa membuat mereka bahagia di hari raya. Dengan begitu kita bisa menanamkan kesadaran pada anak-anak, bahwa Hari Raya Idulfitri tak harus identik dengan memperoleh sangu atau salam tempel di setiap rumah yang mereka kunjungi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H