Di setiap sesi mengaji, saya selalu menyelipkan cerita hikmah. Sore tadi misalnya, setelah mengaji Al Quran selesai saya lalu bercerita tentang "Santri Nakal dan Guru yang Sabar."
Namun, kali ini sebelum bercerita saya bertanya pada anak-anak, siapa nama tokoh santrinya. "Ingat, jangan nama temannya yang ada di kelas ini ya," pesan saya.
Langsung saja, setiap anak lalu mengusulkan nama versi mereka masing-masing.
"Kalau begitu Rusli saja, Ustaz".
"Jangan, itu nama tetangga gang sebelah, nanti kalau beliau mendengar saya bisa kena tuntut lho," kata saya bercanda.
"Parmin, Ustaz."
"Lha, pak Parmin kan yang jualan bakso di depan jalan sana," kata saya sambil tersenyum.
"Widodo saja, Ustaz."
"Hus, itu nama bapaknya Arga," jawab seorang santri mengingatkan temannya yang mengusulkan nama Widodo.
"Ok, kalau kesulitan mencari nama dan biar gak sama dengan nama orang yang kita kenal, lebih baik nama tokoh santri di cerita saya ini kita panggil Mukidi saja, setuju?"
"Setuju!"
***
Perkara nama tokoh cerita ini sekarang sedang dalam sorotan masyarakat. Sebabnya, penerbit Tiga Serangkai Pustaka Mandiri dilaporkan ke polisi karena memuat nama Ganjar sebagai nama tokoh cerita di buku pelajaran Pendidikan Agama Islam untuk Sekolah Dasar.
Kelompok masyarakat yang tergabung dalam Forum Wali Murid Jawa Tengah mengadukan persoalan buku pelajaran yang diterbitkan oleh PT Tiga Serangkai Pustaka Mandiri ke Polda Jawa Tengah. Dasar dari pelaporan tersebut adalah atas dugaan kasus ujaran kebencian.
Koordinator Forum Wali Murid Jateng Tangguh Perwira mengatakan, pihaknya menduga adanya pelanggaran pidana terhadap perlindungan anak sebagaimana diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Bab III yang membahas hak dan kewajiban anak. Sebab, penggunaan soal dengan penyebutan nama Ganjar dalam buku pelajaran tersebut mengandung konotasi negatif.Â
"Kami berharap Polda mengusut kasus penyebutan nama Ganjar dalam buku pendidikan agama Islam ini dan segera mengungkap apa sebenarnya motif di balik penyebutan nama Pak Ganjar," jelasnya di Mapolda Jateng, Senin (15/2/2021).
Sebagai pegiat literasi sekaligus guru (meskipun guru mengaji), saya menganggap apa yang dilakukan Forum Wali Murid Jawa Tengah itu benar-benar aneh dan di luar nalar normal. Mengapa nama Ganjar baru dipersoalkan sekarang, sementara bukunya sudah terbit tahun 2009.
"Jadi Pak Ganjar itu sekadar contoh sebuah nama di soal saja. Terbitnya tahun 2009. Sementara Pak Ganjar (Gubernur Jateng) mulai 2013. Jadi empat tahun sebelumnya," kata General Manager Tiga Serangkai, Mas Admuawan.
Kalau mereka mempertanyakan apa motifnya, ya tidak ada motif apapun selain nama Ganjar yang ada di buku tersebut cuma nama rekaan. Lagipula, nama Ganjar juga bukan nama khusus yang identik dan hanya dimiliki Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Di Indonesia, mungkin ada jutaan penduduk yang bernama Ganjar, baik sebagai nama depan, tengah atau belakang.
Jika setiap nama yang dikonotasikan negatif, atau memerankan sosok antagonis dilaporkan ke polisi karena pasal ujaran kebencian, betapa banyaknya laporan yang bakal diterima aparat kepolisian kita.
Misalnya pemilik nama Elsa tersinggung namanya dicatut sebagai tokoh jahat, lalu melaporkan sutradara dan produser sinetron Ikatan Cinta. Bagaimana nanti kelanjutan sinetronnya?
Apakah perlu, bila di setiap buku cerita fiksi, buku pelajaran yang memuat cerita-cerita, dicantumkan disclaimer seperti yang ada di film dan sinetron:
Cerita ini hanya fiksi belaka. Bila ada kesamaan nama, lokasi maupun jalan cerita, itu hanya kebetulan yang tidak disengaja.
Justru, yang harus dipertanyakan adalah apa motif dibalik pelaporan tersebut? Tak mungkin ada asap jika tidak ada api. Tak mungkin Forum Wali Murid Jawa Tengah melaporkan penerbit Tiga Serangkai hanya karena nama Ganjar, jika tidak ada motif tersembunyi.
Hal-hal semacam ini sebetulnya yang membuat kita rakyat yang waras bisa menangis darah karena hidup di Indonesia belakangan ini. Bagaimana tidak? menulis nama yg kebetulan sama pun dilaporkan ke polisi. Kalau setiap persoalan sepele yang tidak merugikan hajat hidup orang banyak dilaporkan ke polisi, bagaimana kita bisa hidup normal?
Sudah saatnya kita hentikan sikap lopar-lapor, hanya karena persoalan sepele. Mari kita belajar menyikapi segala sesuatu dengan bijak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H