"Anakku, kumis harimau yang kamu berikan ini sebagai tanda pembayaran akan nasihat yang dan pelayanan yang kuberikan kepadamu," kata sang pertapa dengan lembut.
 "Lalu dimana ramuannya, obat untuk suami saya agar sifat-sifatnya bisa kembali seperti semula?", tanya Soh-ji heran karena pertapa itu tidak membuat ramuan.
"Begini anakku. Coba jawab pertanyaanku, apakah suamimu berperilaku lebih keji daripada harimau yang kamu ambil kumisnya ini? Apakah suamimu lebih menakutkan daripada harimau yang kamu datangi?
Anakku, jika binatang buas besar yang berbahaya itu dapat kamu jinakkan dengan sikap lembut dan penuh kasih serta perhatian yang dipenuhi kasih sayang, tahukah kamu bahwa kamu dapat menjinakkan suamimu dengan cara yang sama?"
Mendengar nasihat sang pertapa, Soh-ji ternganga, kemudian menangis dengan air mata membasahi wajahnya.
"Guru, sekarang saya mengerti apa yang guru maksudkan. Saya bisa melihat harimau dan saya bisa melihat suami saya yang sekarang. Tidak banyak perbedaan. Jadi, benar apa yang Guru katakan. Jika harimau itu bisa saya jinakkan, maka saya pun bisa menjinakkan suami saya, dengan sikap dan perlakuan yang sama."
Soh-ji lalu melangkah ke pintu, berbalik dan berkata kepada sang pertapa yang tersenyum kepadanya.
"Terima kasih Guru. Sekarang saya tahu apa yang harus saya lakukan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H