"Kami ini sudah tua, Mas Himam. Tidak bisa segesit dulu bila harus mengurusi TPQ ini lagi. Kemarin saja waktu saya fotokopi daftar santri, saya diingatkan sama tukang fotokopinya, 'Bu Heny, apa gak ada yang muda-muda di TPQ-nya. Kok Bu Heny sendiri yang fotokopi?'
Itu sebabnya, kalau nanti TPQ ini dibuka lagi, kami minta Mas Himam saja yang jadi operator, yang mengurusi semuanya. Kami hanya minta satu hal, ijinkan kami tetap mengajar. Cuma itu satu-satunya yang membuat kami bahagia."
Permintaan Bu Heny, kepala TPQ Al Kautsar Masjid Nailun Hamam disampaikan beliau beberapa bulan yang lalu. Sekaligus menjadi awal sesuatu yang baru dalam hidupku: mengelola dan menjadi guru mengaji di TPQ.
Sejak pandemi Covid-19, seluruh kegiatan mengaji di TPQ Al Kautsar Nailun Hamam dihentikan, sebagaimana pembelajaran mereka di sekolah. Bedanya, jika untuk pelajaran sekolah dilanjutkan secara daring, mengaji tidak bisa.
Bagi anak-anak, belajar mengaji Al Quran tidak bisa dilakukan secara online. Belajar mengaji tidak bisa hanya dengan diberi tugas lewat grup WhatsApp atau Google Classroom. Belajar mengaji juga tidak bisa dilakukan dengan sekedar memberi materi lewat siaran televisi.
Belajar mengaji membutuhkan interaksi langsung dengan guru mengaji agar anak-anak tahu letak kesalahan bacaannya. Tahu bagaimana tajwid bacaan Al Quran. Tahu apakah saat mereka membaca harakat dan huruf hijaiyah tertentu sudah benar dan baik pelafalannya.
Bagaimana bila anak-anak bertatap muka dengan gurunya lewat aplikasi teleconference?
Bisa sih, tapi seberapa banyak orangtua dan anak-anak yang bisa online dan memanfaatkan aplikasi teleconference untuk belajar mengaji? Berapa banyak guru ngaji yang mau mengajari murid-muridnya lewat aplikasi Zoom, misalnya.
Aku yakin, sedikit sekali orangtua atau guru mengaji yang punya pemikiran seperti itu, belajar mengaji dengan bertatap muka virtual. Untuk model pembelajaran seperti ini, butuh sumber daya digital yang lumayan besar.
Pandemi Covid-19 ini tak hanya membuat anak-anak kehilangan sumber ilmu mengajinya, mereka juga kehilangan sebagian kebahagiaannya.
Menanggapi permintaan Bu Heny untuk menjadi operator sekaligus membantu mengajar mengaji, aku mempersiapkan diri dengan mengikuti kelas Tahsin, atau kelas khusus untuk memperbaiki bacaan Al Quran. Jujur, meski sejak kecil aku sudah bisa membaca Al Quran secara tartil (lancar dan benar), tapi masih sering membuat kesalahan. Beberapa materi ilmu tajwid pun sekarang sudah banyak yang lupa.
Beberapa guru mengaji di TPQ Al Kautsar juga ikut belajar lagi di kelas Tahsin, termasuk Bu Heny sendiri yang sudah berusia di atas 60 tahun. Inilah yang membuatku malu sekaligus semangat untuk meng-upgrade kompetensi diri. Mereka yang sudah berusia lanjut saja masih semangat belajar mengaji lagi, mengapa aku yang masih muda tidak ikut bersemangat juga?
Usai mengikuti kelas Tahsin selama 4 bulan, aku lalu ikut ujian agar bisa melanjutkan ke kelas sertifikasi Guru Al Quran yang diselenggarakan sebuah lembaga metode pembelajaran Al Quran. Selama tiga hari, aku dan beberapa calon guru Al Quran lain se-kota Malang digembleng bagaimana cara mengajar Al Quran dengan baik dan benar.
Sekalipun beberapa tahun terakhir aku sudah terbiasa mengajar di kelas UMKM, ternyata saat materi micro teaching aku mendadak gugup dan serba salah. Mengajar Al Quran memang beda dengan mengajar ilmu-ilmu biasa. Butuh ketelitian, kewaspadaan, ketegasan dan kesabaran.
Seorang guru Al Quran dituntut untuk teliti terhadap bacaan Al Quran siswanya. Guru Al Quran juga harus waspada terhadap setiap perilaku siswa selama di dalam kelas. Guru Al Quran juga harus tegas, tidak boleh membiarkan terjadinya kesalahan bacaan, meski itu pengucapan satu huruf atau harakat. Di luar itu, yang lebih penting lagi adalah guru Al Quran harus sabar. Karena belajar Al Quran membutuhkan proses pengulangan.
Setelah para guru TPQ mengikuti upgrading dan sertifikasi metode pembelajaran Al Quran yang baru, pihak yayasan yang menaungi TPQ akhirnya mengijinkan TPQ dibuka kembali, dengan catatan: harus menerapkan protokol kesehatan dengan ketat.
Sebagai guru sekaligus operator TPQ, aku memaklumi syarat tersebut, mengingat ketua yayasan kami adalah dokter dan guru besar kedokteran Unibraw. Sebelum TPQ dibuka, kami mengundang orangtua santri untuk sosialisasi metode pembelajaran baru sekaligus menjelaskan aturan dan syarat-syarat mengaji selama masa pandemi.
Untuk menghindari kerumunan, kami mengatur kelas secara bergiliran. Masing-masing kelas maksimal hanya boleh diikuti 10 santri. Dengan posisi bangku membentuk huruf U, satu bangku hanya boleh diisi satu santri. Tak lupa, hand sanitizer dan tempat mencuci tangan dengan sabun juga sudah kami siapkan.Â
Selain memberi pesan untuk menjaga protokol kesehatan selama proses mengaji, pengurus takmir masjid dan yayasan juga berpesan agar untuk kali pertama TPQ dibuka kembali, setiap anak yang hendak belajar mengaji tidak perlu membayar biaya apapun. Ini merupakan bentuk ikhtiar dari takmir dan yayasan dalam rangka menyantuni anak-anak yang orangtuanya terkena dampak pandemi dari sisi ekonomi.
Hari pertama TPQ dibuka kembali usai libur pandemi, suasana TPQ yang hampir setahun ini sepi mendadak meriah. Raut kebahagian tampak jelas di mata anak-anak. Senyum gembira tak pernah lepas dari wajah mereka. Sebagian kebahagiaan mereka yang terenggut oleh pandemi seolah sudah kembali.
Ketika aku mengingatkan mereka bahwa kelas mengaji tidak bisa diselenggarakan setiap hari, mereka tak bisa menyembunyikan kesedihan. Bahkan, mereka memohon agar selama liburan semester, mereka diijinkan untuk mengaji.
Saat-saat paling menyentuh hatiku terjadi ketika mereka pamit usai pembelajaran. Usai menyampaikan salam dan membubarkan kelas, anak-anak berdiri dan berbaris rapi, lalu satu per satu bergantian menyalamiku dengan begitu takzimnya. Melihat pancaran kebahagiaan anak-anak itu, tanpa terasa air mataku perlahan menetes ke pipi.
Sejak diminta Bu Heny untuk ikut mengajar dan mengelola TPQ, aku memang sudah berniat untuk mewakafkan waktu, tenaga dan pengetahuanku pada anak-anak. Berbagi kebahagiaan dengan anak-anak, memberi kesempatan pada anak-anak untuk bisa belajar mengaji di masa pandemi, merupakan salah satu momen kebahagiaan yang tak akan pernah terlupakan selama hidupku.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI