Menanggapi permintaan Bu Heny untuk menjadi operator sekaligus membantu mengajar mengaji, aku mempersiapkan diri dengan mengikuti kelas Tahsin, atau kelas khusus untuk memperbaiki bacaan Al Quran. Jujur, meski sejak kecil aku sudah bisa membaca Al Quran secara tartil (lancar dan benar), tapi masih sering membuat kesalahan. Beberapa materi ilmu tajwid pun sekarang sudah banyak yang lupa.
Beberapa guru mengaji di TPQ Al Kautsar juga ikut belajar lagi di kelas Tahsin, termasuk Bu Heny sendiri yang sudah berusia di atas 60 tahun. Inilah yang membuatku malu sekaligus semangat untuk meng-upgrade kompetensi diri. Mereka yang sudah berusia lanjut saja masih semangat belajar mengaji lagi, mengapa aku yang masih muda tidak ikut bersemangat juga?
Usai mengikuti kelas Tahsin selama 4 bulan, aku lalu ikut ujian agar bisa melanjutkan ke kelas sertifikasi Guru Al Quran yang diselenggarakan sebuah lembaga metode pembelajaran Al Quran. Selama tiga hari, aku dan beberapa calon guru Al Quran lain se-kota Malang digembleng bagaimana cara mengajar Al Quran dengan baik dan benar.
Sekalipun beberapa tahun terakhir aku sudah terbiasa mengajar di kelas UMKM, ternyata saat materi micro teaching aku mendadak gugup dan serba salah. Mengajar Al Quran memang beda dengan mengajar ilmu-ilmu biasa. Butuh ketelitian, kewaspadaan, ketegasan dan kesabaran.
Seorang guru Al Quran dituntut untuk teliti terhadap bacaan Al Quran siswanya. Guru Al Quran juga harus waspada terhadap setiap perilaku siswa selama di dalam kelas. Guru Al Quran juga harus tegas, tidak boleh membiarkan terjadinya kesalahan bacaan, meski itu pengucapan satu huruf atau harakat. Di luar itu, yang lebih penting lagi adalah guru Al Quran harus sabar. Karena belajar Al Quran membutuhkan proses pengulangan.
Setelah para guru TPQ mengikuti upgrading dan sertifikasi metode pembelajaran Al Quran yang baru, pihak yayasan yang menaungi TPQ akhirnya mengijinkan TPQ dibuka kembali, dengan catatan: harus menerapkan protokol kesehatan dengan ketat.
Sebagai guru sekaligus operator TPQ, aku memaklumi syarat tersebut, mengingat ketua yayasan kami adalah dokter dan guru besar kedokteran Unibraw. Sebelum TPQ dibuka, kami mengundang orangtua santri untuk sosialisasi metode pembelajaran baru sekaligus menjelaskan aturan dan syarat-syarat mengaji selama masa pandemi.
Untuk menghindari kerumunan, kami mengatur kelas secara bergiliran. Masing-masing kelas maksimal hanya boleh diikuti 10 santri. Dengan posisi bangku membentuk huruf U, satu bangku hanya boleh diisi satu santri. Tak lupa, hand sanitizer dan tempat mencuci tangan dengan sabun juga sudah kami siapkan.Â
Selain memberi pesan untuk menjaga protokol kesehatan selama proses mengaji, pengurus takmir masjid dan yayasan juga berpesan agar untuk kali pertama TPQ dibuka kembali, setiap anak yang hendak belajar mengaji tidak perlu membayar biaya apapun. Ini merupakan bentuk ikhtiar dari takmir dan yayasan dalam rangka menyantuni anak-anak yang orangtuanya terkena dampak pandemi dari sisi ekonomi.