Apa yang kamu cari di balik profesimu itu, Nik?
"Bukan profesi, tapi pekerjaan. Kalau profesi berarti aku terikat," jawabmu.
"Tapi sama saja kan? Ah sudahlah, kuulangi saja pertanyaanku tadi. Apa yang kamu cari?"
"Tentu saja uang, Â kamu pikir aku cari kesenangan seksual? Orang berkata uang itu berkuasa. Siapa yang punya uang, ia berkuasa atas diriku."
"Mengapa kamu memilih cara seperti ini untuk memperoleh uang? Bukankah masih banyak pekerjaan lain yang lebih layak dan terhormat?"
"Lho, dengan cara apa lagi yang aku bisa? Bukan niatku pertama kali untuk menjalani pekerjaan ini. Kalau kamu tanya alasannya apa, sama seperti yang akan dikatakan mereka yang pekerjaannya sama denganku.
Datang dari desa dengan niat cari kerja, ditolong seseorang yang merasa kasihan, tapi ternyata dia serigala berbulu domba. Kami dijual pada mereka yang membutuhkan kenikmatan dunia.
Ada pula yang niatnya jadi pembantu rumah tangga, tapi dibuat mainan oleh majikan pria. Habis manis sepah dibuang, ditelantarkan dan malu kalau harus pulang.
Bukan kami yang menghendaki pekerjaan ini. Tapi masyarakat sendiri yang menjadikan kami seperti ini.
Mereka berteriak untuk menghapus pelacuran tapi dari belakang mereka sendiri yang mendatangi dan memaksa kami untuk kembali. Di antara kami tak ada yang sempat berpikir apakah ini dosa. Kami hanya bisa berpikir bagaimana kami bisa hidup hari ini."
***
Dari luar, rumah besar itu terlihat kosong, tapi sebenarnya tidak. Sesekali ada seorang perempuan yang terlihat menyapu halaman dan mengepel lantai rumah. Ada pula seorang satpam yang setiap malam terkantuk-kantuk melihat tayangan televisi di dalam pos yang ada di tepi pintu pagar halaman.
Di akhir pekan, rumah itu ramai kedatangan beberapa anak muda berpakaian necis. Deretan kendaraan mewah diparkir di halaman rumah yang luasnya dapat dibangun 2 rumah bersubsidi.
Pada suatu pagi, seorang bapak tua melintasi rumah besar itu. Pakaiannya lusuh, dan sebuah kantong plastik besar digelantungkan di pundaknya.
Dengan sabit, bapak tua itu mengorek tempat sampah di pojok luar rumah di balik dinding setinggi dua meter yang membentengi rumah mewah tersebut. Berharap ada barang berharga yang dapat ditemukan, atau setidaknya ada sampah-sampah plastik yang bisa ia tukarkan di pengepul.
Sejenak, ditatapnya rumah besar itu. Pikirannya melayang membayangkan dirinya tinggal di rumah mewah.
"Andai aku yang tinggal di situ, akan kuajak semua keluargaku dan juga teman-teman sesama pemulung yang kini tinggal di bedak-bedak pinggir rel, yang hanya cukup untuk berselonjor kaki yang bergetar dan kadang ambruk kalau ada kereta Argo Bromo melintas secepat kilat. Andai aku..."
Lamunannya mendadak terputus oleh gongongan anjing yang bersahutan. Tiga Doberman dan satu Bulldog menyalak bergantian dari balik pagar beton.
Kaget, bapak tua itu berjalan cepat hampir berlari, membawa serta khayalannya tentang rumah mewah.
***
Seorang anak kecil berlari menuju sebuah mobil mewah di saat lampu merah di perempatan jalan menyala. Dengan alat musik "kecrek" dari tutup botol bekas, anak itu menyanyikan lagu "Bang Jago" dengan irama tidak teratur.
Tanpa menampakkan wajah, dari jendela mobil muncul tangan yang mengulurkan uang receh lima ratusan. Anak itu menerimanya sambil tak lupa mengucapkan "Terima kasih."
Langkahnya kemudian beranjak mendekati mobil lain. Satu sosok wajah yang terharu memberinya uang sepuluh ribu. Dalam hati, penumpang yang dermawan ini berharap pengamen cilik itu bisa mendapatkan penghasilan yang baik, sambil tak lupa mencela orangtuanya yang membiarkan anak seusianya membanting tulang di perempatan jalan.
Lampu hijau menyala diikuti bunyi klakson kendaraan yang pengemudinya sudah tidak sabar. Anak kecil itu bergegas berlari. Di seberang jalan, beberapa temannya sudah menunggu.
Usai bercakap-cakap sebentar, anak-anak itu pun pergi. Bukan pulang ke rumah masing-masing, melainkan ke satu ruko yang letaknya tak jauh dari perempatan jalan tadi.
Di meja pinggir pintu yang dijaga seorang pemuda, pengamen cilik itu menyerahkan uang hasil ngamennya yang terbesar: selembar sepuluh ribu.
Tak lama kemudian, anak-anak itu pun sudah duduk tenang menghadap layar televisi berukuran besar. Tangan mereka bergerak terampil memainkan joystick. Sesekali terdengar sorak sorai dari mereka. Tak ada lagi wajah sendu yang mengundang simpati, berganti wajah gembira anak-anak yang menemukan dunianya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H