Sabtu, 22 Agustus 2020, pukul 17.00.Â
"Din, kamu gak pulang?" tanya Ahmad, mandor proyek pengerjaan renovasi sebuah gedung pemerintah di pusat kota.
"Bentar lagi Bang. Nanggung nih tinggal bersih-bersih saja," jawab Udin sambil memunguti potongan kayu triplek.
"Ya sudah. Aku pulang duluan."
"Iya Bang, hati-hati di jalan."
Begitu sampai di pintu, Ahmad tiba-tiba membalikkan badan.
"Oh iya, Din. Sekalian bilang sama Amir dan kawan-kawan di ruang sebelah untuk bersih-bersih juga. Soalnya besok ada inspeksi kerjaan kita," pinta Ahmad.
"Baik, Bang."
"Dan jangan merokok lho, Din. Sensor asap dan api di lantai ini masih menyala. Berabe nanti kalau tiba-tiba sensornya menyala terus sprinkler-nya nyembur. Bisa rusak kerjaan kita semua," pesan Ahmad terakhir kalinya.
"Iya, Bang. Tinggal beres deh."
***
Pukul 17.30 WIB, Udin mendatangi ruangan sebelah tempat keempat kawannya sedang bekerja. Dilihatnya Amir, Ridho, Bahrul dan Joni sedang duduk santai. Asap rokok mengepul di sekeliling mereka berempat.
"Kalian santai-santai gini, memangnya sudah selesai kerjaannya?" tanya Udin.
"Alah, lagakmu kayak yang paling rajin saja," sindir Amir.
Udin lalu mengambil duduk di antara keempat temannya itu.
"Memangnya boleh ya merokok di sini?" tanya Udin.
"Kenapa gak boleh? Sekarang kan sudah jam pulang. Lagian kerjaan kita sudah selesai kok," jawab Ridho. "Nih, kalau mau," sambungnya sambil mengangsurkan sebatang rokok kepada Udin.
"Soalnya tadi bang Ahmad ngelarang aku merokok di ruangan sebelah. Katanya sensor asap dan apinya masih menyala. Takut nanti sprinkler-nya nyembur," kata Udin mengingatkan pesan Ahmad.
"Sudahlah, nikmati saja rokoknya. Sudah habis dua batang aku merokok, gak ada tuh bunyi sensor atau air yang nyembur," kali ini Joni yang menimpali perkataan Udin.
Udin tak berkata apa-apa lagi. Diambilnya sebatang rokok dari lantai marmer, kemudian disulutnya. Sembari mulutnya mengepulkan asap rokok, hati Udin masih was-was mengingat pesan Ahmad tadi.
"Yuk ah pulang, udah habis nih rokoknya," kata Amir berdiri, lalu diikuti keempat temannya.
"Jangan lupa matiin dulu tuh puntungnya, Mir," kata Udin.
"Cerewet sekali kau hari ini, Din. Memangnya puntung rokok bisa membakar gedung beton berlantai marmer seperti ini? Kalau masih khawatir juga, nih lihat sendiri kuinjak sampai gepeng puntung rokoknya," kata Amir kesal. Kakinya menginjak puntung rokok yang masih menyala hingga gepeng.
***
Pukul 21.00 WIB, Udin baru sampai di rumah. Belum sempat menaruh peralatan tukangnya, istrinya menyambut dengan raut muka khawatir.
"Aduh Bang, kok lama banget pulangnya. Aku sudah khawatir setengah mati."
"Memangnya kenapa, Dik? Takut abangmu ini selingkuh ya?" kata Udin bercanda.
"Abang gak baca atau lihat berita di tivi?" tanya istri Udin.
"Yaelah, mana sempat abang baca berita atau lihat tivi. Memang ada apa sih?"
"Itu lho, Bang. Gedung tempat abang bekerja hangus kebakar. Nih lihat sendiri di tivi, masih disiarkan," kata istri Udin sambil menyeret suaminya ke ruang tengah melihat tayangan berita.
Mata Udin nanar menatap layar kaca. Jantungnya berdebar keras. Di televisi, terlihat tayangan beberapa petugas pemadam sedang berjuang keras memadamkan api yang membakar hebat sebuah gedung beton.
Udin tahu betul gedung apa itu karena baru tadi petang ia tinggalkan bersama kawan-kawannya sesama kuli bangunan, usai merokok dan meninggalkan puntung rokok berceceran di lantai marmer.
Udin tahu, hari-harinya ke depan akan diselimuti kabut gelap. Entah siapa yang akan dijemput duluan. Dirinya, Amir, Ridho, Bahrul, atau Joni.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H