"Cerewet sekali kau hari ini, Din. Memangnya puntung rokok bisa membakar gedung beton berlantai marmer seperti ini? Kalau masih khawatir juga, nih lihat sendiri kuinjak sampai gepeng puntung rokoknya," kata Amir kesal. Kakinya menginjak puntung rokok yang masih menyala hingga gepeng.
***
Pukul 21.00 WIB, Udin baru sampai di rumah. Belum sempat menaruh peralatan tukangnya, istrinya menyambut dengan raut muka khawatir.
"Aduh Bang, kok lama banget pulangnya. Aku sudah khawatir setengah mati."
"Memangnya kenapa, Dik? Takut abangmu ini selingkuh ya?" kata Udin bercanda.
"Abang gak baca atau lihat berita di tivi?" tanya istri Udin.
"Yaelah, mana sempat abang baca berita atau lihat tivi. Memang ada apa sih?"
"Itu lho, Bang. Gedung tempat abang bekerja hangus kebakar. Nih lihat sendiri di tivi, masih disiarkan," kata istri Udin sambil menyeret suaminya ke ruang tengah melihat tayangan berita.
Mata Udin nanar menatap layar kaca. Jantungnya berdebar keras. Di televisi, terlihat tayangan beberapa petugas pemadam sedang berjuang keras memadamkan api yang membakar hebat sebuah gedung beton.
Udin tahu betul gedung apa itu karena baru tadi petang ia tinggalkan bersama kawan-kawannya sesama kuli bangunan, usai merokok dan meninggalkan puntung rokok berceceran di lantai marmer.
Udin tahu, hari-harinya ke depan akan diselimuti kabut gelap. Entah siapa yang akan dijemput duluan. Dirinya, Amir, Ridho, Bahrul, atau Joni.