Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Santri Milenial, Please Jangan Pacaran Dulu

23 Oktober 2020   09:13 Diperbarui: 23 Oktober 2020   09:22 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Santri milenial, ingat-ingat selalu doa restu ayah ibu, jangan pacaran dulu (foto ilustrasi: hariansulses.com) 

Suasana di kota santri asyik senangkan hati

Suasana di kota santri asyik senangkan hati

Tiap pagi dan sore hari

Muda mudi berbusana rapi

Menyandang kitab suci

Hilir mudik silih berganti

Pulang pergi mengaji

***

Duhai ayah dan ibu

Berikanlah izin daku

Untuk menuntut ilmu

Pergi ke rumah guru

Mondok di kota santri

Banyak ulama kiyai

Tumpuan orang mengaji

Mengkaji ilmu agama

bermanfaat di dunia

menuju hidup bahagia

sampai di akhir masa

***

Suasana Kota Santri yang Kental Nuansa Religi

Lagu yang dirilis pada 1980 ini merupakan salah satu single milik grup musik Nasida Ria dari albumnya berjudul Perdamaian. Bagi saya, lagu yang sudah akrab sejak masa kecil ini selalu mengingatkan sekaligus menimbulkan kerinduan pada suasana "kota santri" yang khas nuansa religinya.

Meski belum pernah jadi santri, saya tumbuh di lingkungan keluarga yang hampir semuanya pernah mondok dan menjadi santri. Ayah ibu, kakak adik, saudara sepupu hingga keponakan, semuanya pernah jadi santri.

Suasana "Kota Santri" yang pernah saya saksikan sendiri memang tepat sesuai yang digambarkan dalam lagi Nasida Ria tersebut. Setiap pagi usai salat subuh, para santri bergegas pergi ke rumah guru atau kyai masing-masing, untuk belajar mengaji sesuai kitab yang mereka pelajari tingkatan mengaji mereka. Setelah itu, mereka pulang ke pondokan untuk beristirahat atau pergi ke sekolah menerima pelajaran ilmu dunia. Sore hari, para santri kembali mengaji hingga malam menjelang mengantarkan para santri ke peraduan.

Begitu terus setiap hari, hampir tidak mengenal hari libur. Para santri hanya libur mengaji bila musim libur sekolah tiba, di mana mereka pulang ke rumah orangtua masing-masing.

Dalam hal pembelajaran, tidak ada kelas pembelajaran bersama-sama. Para santri putra dididik oleh ustad, sedangkan santri putri dididik ustadzahnya dalam ruang terpisah.

Pergaulan para santri juga dibatasi. Pondok santri laki-laki terpisah dengan pondok santri perempuan. Hampir tidak mungkin santri laki-laki dan perempuan bisa berpapasan, apalagi bertatap muka di depan umum di lingkungan pondok pesantren. Tidak ada ceritanya santriwan dan santriwati bisa berjalan beriring bersama, terlihat dengan jelas oleh santri-santri yang lainnya. Para santri tidak diberi kesempatan untuk bisa berduaan dengan orang yang bukan mahram-nya.

Begitu pula dengan keluarga santri itu sendiri. Ayah atau wali laki-laki tidak diperbolehkan masuk ke kompleks pemondokan putri, dan sebaliknya.

Penggambaran Santri dan Budaya Pesantren yang Melenceng di Tayangan Hiburan

Sayangnya, suasana dan budaya Kota Santri yang sangat kental nuansa religinya ini 'dihancurkan' oleh tayangan film atau sinetron yang bertolak belakang dengan fakta aslinya. Ambil contoh film The Santri yang hingga kini hanya bisa dilihat trailer-nya, entah kapan tayang di bioskop.

Film hasil kerjasama PBNU dengan sutradara Livi Zheng ini sempat menuai kontroversi saat merilis trailer resmi pada akhir September tahun lalu. Netizen Indonesia bahkan mencuitkan tagar #BoikotFilmTheSantri karena menganggap penggambaran santri dalam film ini jauh melenceng dari fakta.

Adegan santriwan dan santriwati bisa berjalan bersama tanpa pembatas, lalu adegan tokoh utama yang diperankan Veve Zulfikar dan Wirda Mansyur tengah berduaan dianggap tidak sesuai dengan kultur santri dan tradisi pesantren pada umumnya.

Sebelum film The Santri, ada sinetron Pesantren & Rock n' Roll. Jika dibandingkan dengan film The Santri, film Pesantren & Rock n' Roll malah jauh lebih menyimpang dengan tradisi pesantren di Indonesia mengingat dalam film tersebut banyak adegan percintaan antara tokoh filmnya. Sementara latar belakang pesantrennya hampir tidak terlalu ditonjolkan.

Lalu ada film Perempuan Berkalung Sorban yang disutradari Hanung Bramantyo. Film dengan bintang utama Revalina S. Temat ini bahkan lebih kontroversial lagi. Imam Besar Masjid Istiqlal saat itu, almarhum K.H. Ali Mustafa Yaqub sampai menilai film ini telah menyakiti umat Islam dan fitnah terhadap pesantren.

Derasnya arus informasi di era digital ini akhirnya menembus tembok tebal pesantren. Tak bisa dipungkiri, para santri akhirnya terpapar oleh tayangan-tayangan hiburan yang lebih mengedepankan citra pergaulan generasi milenial, dibandingkan pendidikan moral.

Akibatnya, tradisi pesantren dan budaya para santri pun mulai bergeser. Jika dulu para santri malu-malu kucing membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan pacaran, kini mereka tidak merasa sensitif lagi. Gaya hidup para santri mulai berbelok arah kiblatnya.

Gaya Pacaran Santri Masa Kini

Pacaran bukan lagi hal yang tabu untuk dilakukan. Karena santri milenial lahir dengan internet dalam genggaman, gaya pacaran mereka tidak sama dengan orangtuanya.

Tak lagi backstreet alias mencuri-curi kesempatan untuk bertatap muka, pacaran gaya terkini bisa lewat aplikasi perpesanan yang menyediakan fitur berbagi foto dan video. Justru, inilah yang berbahaya.

Karena lengah, orangtua sering tidak tahu dan mungkin juga tidak peduli dengan aktivitas digital anaknya yang sedang nyantri di pesantren. Seringkali orangtua santri beranggapan anaknya tidak sedang menjalin hubungan spesial, hanya karena tak ada teman lawan jenis yang datang bertamu ke rumah. Padahal, hubungan spesial itu tersambung lewat perangkat digital sang anak.

Saya tidak sedang berkhayal, atau mengkhawatirkan hal yang belum terjadi. Dekat dengan anak-anak muda yang sedang nyantri membuat saya tahu hal-hal semacam ini. Apalagi beberapa keponakan saya juga jadi santri.

Memang, tidak semua santri imannya lemah dan mudah goyah. Banyak santri dan pondok pesantren yang tembok tradisinya tetap kuat, mampu bertahan dari godaan hedonisme.

Masih banyak santri milenial yang memilih untuk tekun menuntut ilmu, sesuai dengan restu ayah dan ibu mereka saat berangkat ke pondok pesantren. Sebagaimana lirik lagu "Kota Santri":

Duhai ayah dan ibu

Berikanlah izin daku

Untuk menuntut ilmu

Mengingat mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, santri haruslah menjadi garda terdepan dalam revolusi mental dan akhlak generasi muda Indonesia. Santri haruslah menjadi teladan bagaimana semestinya adab dan budaya masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam. 

Teruntuk para santri milenial, please jangan pacaran dulu. Ingat-ingat selalu doa restu yang kamu minta pada ayah dan ibu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun