Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Rahasia Ilmu Penglaris Dagangan

4 Oktober 2020   23:49 Diperbarui: 5 Oktober 2020   00:01 3057
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sebulan usaha warung kopi yang kujalani sepi terus. Sehari, paling banter hanya ada 5 orang yang datang. Sudah begitu, yang sudah datang tak pernah kembali. Seperti sore ini, baru ada 3 orang yang datang ke warung kopiku.

Aku jadi berpikir, apa yang kurang dari warung kopiku. Lokasinya bagus, di tepi jalan raya provinsi. Tempatnya juga lumayan, meski tidak mewah seperti kafe-kafe berkelas di tengah kota.

Menu kopinya bermacam-macam pula. Kalau warung kopi lain biasanya hanya menyajikan kopi robusta, warung kopiku lengkap. Selain robusta, ada arabika dan kopi yang aromanya menyengat seperti nangka. Semua kopi itu aku peroleh dari petaninya langsung, di desa di lereng gunung Kawi.

Selain minuman kopi, kusediakan juga beberapa makanan ringan dan cemilan buatan istriku. Ada tahu brontak, weci, sampai ceker pedas.Tapi, ini semua belum mampu membuat warung kopiku laris manis.

"Kopinya satu, Mas."

Seorang laki-laki berusia sekitar 40 tahunan ternyata sudah duduk di depan meja panjang tempat aku meladeni pembeli. Pakaiannya rapi. Rambutnya disisir klimis.

"Kopinya satu, Mas," ulang laki-laki itu dengan tersenyum, sementara tangannya mengambil ceker pedas di piring.

"Oh iya, Pak. Maaf, saya tadi melamun. Jadi tidak tahu kalau bapak sudah duduk. Bapak mau kopi apa?"

"Mas punya kopi apa saja?"

"Ini ada arabika, robusta, sama yang beraroma nangka, Pak," jawabku sambil menunjuk toples-toples bubuk kopi.

"Rasanya beda-beda to, Mas?"

"Ya beda, Pak. Kalau arabika itu rasanya agak asam, seperti buah muda yang kecut. Kalau robusta rasanya agak seperti coklat. Kalau kopi nangka, aromanya saja yang seperti buah nangka. Rasanya hampir sama dengan arabika, cuma lebih eneg," kataku menjelaskan.

"Coba yang arabika saja, Mas."

"Seduhnya ditubruk atau disaring?"

Laki-laki itu sejenak berhenti makan ceker, lalu menoleh dan tersenyum.

"Wah, kalau Mas banyak tanya seperti ini, bisa-bisa pembelinya gak sabar dan malah gak jadi beli lho?"

"Ya memang harus seperti ini, Pak. Kecuali kalau pembelinya sudah langganan dan tahu apa yang ingin dipesannya. Nah, kalau Bapak ini kan belum pernah ke sini, jadi saya harus tanya-tanya dulu," jawabku.

"Oh begitu? Ya sudah, kopinya ditubruk saja."

Sementara aku menyiapkan kopi pesanannya, laki-laki itu bertanya,

"Cekernya buatan sendiri, Mas?"

 "Istri saya yang buat, Pak."

"Enak, Mas. Pedasnya mantap, bumbunya pas," kata lak-laki itu memuji.

"Terima kasih, Pak," kataku, lalu mengangsurkan kopi yang sudah selesai kuseduh.

Laki-laki itu menghirup uap kopi, kemudian menuangkan kopinya ke lepek, sedikit demi sedikit. Ditiupnya sebentar, lalu diseruputnya hingga menyisakan ampas kopi.

"Nikmat kopinya. Gak terlalu manis, juga gak terlalu pahit. Masamnya terasa di lidah. Wah, kalau orang-orang pada ngerti kopi seduhanmu enak, ceker pedasmu mantap, warung kopimu bisa ramai lho, Mas."

"Pinginnya sih begitu, Pak. Tapi, namanya juga rejeki tiap orang berbeda. Mungkin hanya Bapak saja yang menganggap kopi dan ceker pedas saya enak. Tapi yang lain kan belum tentu. Buktinya warung kopi saya masih sepi, kalah sama warung kopi di ujung pasar sana," kataku sambil tersenyum masam.

"Memang, rejeki tiap orang berbeda. Tapi, pintu rejeki itu bisa kita buka lebar kalau kita mau berusaha lebih."

"Maksudnya...pakai pesugihan gitu?" tanyaku mencoba menebak.

"Ha ha ha ha. Ya enggak lah, Mas," jawab laki-laki itu.

"Kalau Bapak menyuruh saya pakai pesugihan, saya gak mau, Pak. Saya gak mau ada keluarga yang jadi tumbal pesugihan," kataku serius.

"Lho, siapa yang nyuruh Mas, eh maaf namanya siapa?"

"Ali, Pak."

"Mas Ali, saya tidak menyuruh Mas Ali pakai pesugihan. Yang saya maksud itu, kopi dan ceker buatan Mas Ali bisa jadi jalan untuk membuka pintu rejeki lebih lebar lagi. Kopi dan ceker pedas Mas Ali bisa jadi penglaris. Kalau Mas Ali mau, nanti bisa saya ajarkan."

"Ya kan sama saja, Pak. Penglaris itu ya pesugihan. Seperti warung makanan punya teman saya. Kata orang-orang, warungnya laris karena pakai pesugihan."

Laki-laki itu menuangkan kopinya ke lepek. Setelah meminumnya, baru kemudian ia menjelaskan.

"Penglaris dengan pesugihan itu beda Mas Ali, meski keduanya bertujuan untuk mendapatkan kekayaan. Kalau pesugihan, tanpa bekerja atau berusaha apapun orang yang memilikinya bisa mendapatkan kekayaan. Sebagai imbal balik, dia harus menyiapkan tumbal, entah itu dirinya sendiri atau dari keluarganya.

Sementara penglaris, itu ilmu khusus agar dagangan kita laris, banyak yang membeli. Dan, tidak membutuhkan tumbal. Hanya amalan atau lelaku tertentu saja.

Melihat gaya bicaranya, aku sedikit curiga laki-laki itu "orang pintar". Tapi, biasanya "orang pintar" penampilannya nyentrik. Sedangkan laki-laki ini penampilannya mirip orang kantoran.

"Ilmu penglaris dari Bapak ini, apa tidak dilarang agama?" tanyaku mulai tertarik, namun masih ragu-ragu.

"Oh enggak. Mas Ali jangan khawatir. Ilmu penglaris dagangan yang saya ajarkan nanti sama sekali tidak melanggar syariat agama. Beda dengan pesugihan yang digolongkan perbuatan syirik, menyekutukan Tuhan karena kita meminta sesuatu bukan kepada-Nya. Dan perbuatan semacam ini dosanya tidak terampuni."

"Terus, saya nanti harus bayar berapa ke Bapak?"

"Ha ha ha ha ha!" Laki-laki itu malah tertawa keras. "Mas Ali gak usah bayar. Asalkan Mas Ali sanggup petunjuk yang saya berikan. Bagaimana?"

"Ya, Pak. Saya sanggup. Yang penting warung kopi saya laris, dan seperti yang Bapak katakan tadi, tidak memakai tumbal pesugihan," kataku dengan penuh keyakinan.

"Ok. Nah, syarat pertama, besok Mas Ali bikin papan nama. Gak perlu yang besar, cukup ukuran tinggi 1,5 meter kali 1 meter dengan dua sisi. Buat aja dari triplek dengan penyangga kayu biasa. Kemudian cat putih, dan beri tulisan "Kopi dan Ceker Penglaris" warna merah di kedua sisinya.. Setelah jadi, letakkan di depan warung kopi ini, sejajar dengan jalan raya biar bisa dilihat orang yang datang dari dua arah."

Kemudian, selama Mas Ali berjualan, pakaiannya harus rapi. Boleh pakai kaos oblong, asal jangan awut-awutan seperti orang baru bangun tidur. Rambut disisir rapi. Dan jangan lupa pakai parfum atau deodorant. Lusa, saya akan datang lagi buat melihat apakah Mas Ali mematuhi syarat saya atau tidak."

Aku menyimak penjelasan syarat ilmu penglaris itu dengan seksama. Esoknya, warung kopi kututup sementara karena aku sibuk membuat papan nama di rumah. Kuminta istriku menyeterika kaos, dan dengan diam-diam kupakai deodorant-nya.

***

Ketika warung kopi kubuka lagi dengan papan nama baru di depan, efeknya langsung terasa. Hingga siang hari, sudah ada 10 pembeli yang datang. Sore harinya, laki-laki itu datang diikuti dua orang yang seumuran di belakangnya. Mungkin temannya, pikirku.

Kali ini, laki-laki itu tidak banyak bicara. Dia terlihat menikmati ceker pedas, lalu menawarkannya ke dua orang temannya yang langsung disambut dengan antusias. Sebaliknya, dua orang temannya itu banyak bertanya-tanya seputar kopi yang kujual. Dengan sabar, aku menjelaskan sebatas apa yang kutahu.

Ketika hendak pulang dan kedua temannya agak menjauh, laki-laki itu mendekatiku.

"Bagus, Mas. Syarat pertama sudah terpenuhi. Sekarang syarat keduanya, besok saya ingin melihat warung kopi ini bersih. Lantainya disapu, jangan sampai ada sampah berserakan. Kalau ada pembeli yang merokok, sediakan asbak, dasarnya dilapisi kertas tisu yang dibasahi agar abu rokoknya tidak beterbangan.

Piring, lepek dan gelas harus dilap bersih. Begitu pula dengan toples wadah kopinya. Untuk makanan atau jajanan ditutup dengan tudung saji. Kalau tidak ada cukup pakai kain serbet yang bersih. Biar gak dikerubungi lalat dan serangga lain," ujarnya menjelaskan syarat kedua.

Karena sudah membuktikan sendiri, esoknya aku bersemangat membersihkan warung kopi. Peralatan dan makanan yang kujual kutata rapi, tidak semrawut lagi.

Baru saja warungnya kubuka, sudah ada 5 pembeli yang datang. Menjelang sore, warung kopiku semakin ramai. Beberapa orang yang kukenali sudah pernah datang membeli kusapa dengan ramah.

Usai maghrib, laki-laki itu datang, kali ini sendirian. Saat aku hendak menyiapkan kopinya, laki-laki itu menggelengkan kepala sambil tersenyum.

"Gak usah, Mas. Saya kesini cuma mampir sebentar," katanya lalu mengambil tempat duduk.

"Bagaimana, Mas? Sudah mulai ramai to?"

"Alhamdulillah, Pak. Baru dua syarat saja warung kopi saya sudah ramai. Apalagi kalau nanti ilmu penglarisnya bapak turunkan ke saya," jawabku sumringah.

"Ha ha ha ha ha. Mas, ilmu penglarisnya itu sudah saya turunkan ke sampeyan," katanya sambil tertawa.

"Lho, masa sih, Pak? Kapan? Saya kok enggak pernah merasa menerima?"

"Ilmu penglarisnya itu ya syarat yang saya minta dipenuhi Mas Ali. Begini lho Mas, orang jualan itu harus bersih dan rapi. Bersih tempatnya, rapi penjualnya.

Semua itu sarana agar pembeli tidak jijik dan terlihat menyenangkan. Kalau yang jualan asal-asalan, tempatnya kotor, penampilannya kusut dan lecek, yang pingin mampir pasti jadi malas. Kalau sudah terlanjur belok, pasti dia kapok dan tidak bakal datang lagi."

Mendengar penjelasannya, aku hanya bisa melongo. Laki-laki itu tertawa lagi.

"He he he. Satu lagi syarat penglarisnya, Mas. Kalau jualan itu juga harus punya akhlak. Orang jualan itu bukan hanya tentang untung rugi, laku banyak atau sedikit. Jualan itu tentang mental yang membutuhkan akhlak.

Coba bayangkan Mas Ali jadi pembeli. Suka enggak sama penjual yang ketus, sombong dan melayani pembeli dengan marah-marah? Gak suka, kan?

Sebagus apapun dagangan kita, semurah apapun barang yang kita jual, kalau akhlak kita saat berjualan tidak baik, tak akan ada orang yang mau membeli.

Saya lihat Mas Ali sudah menerapkan syarat penglaris yang terakhir ini. Mas Ali melayani pembeli dengan baik. Ada yang hanya bertanya-tanya masalah kopi, Mas Ali menjawabnya dengan sabar. Ada orang yang datang kembali, Mas Ali menyapanya dengan ramah seperti teman lama.

Kalau Mas Ali bisa mempertahankan sikap ini selama berjualan, insyaallah rejeki Mas Ali dari warung kopi ini bisa mengalir dengan lancar. Inilah rahasia ilmu penglaris itu, yakni dengan mengetuk pintu Sang Pemberi Rejeki melalui akhlak berjualan yang terpuji."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun