"Mas Ali, saya tidak menyuruh Mas Ali pakai pesugihan. Yang saya maksud itu, kopi dan ceker buatan Mas Ali bisa jadi jalan untuk membuka pintu rejeki lebih lebar lagi. Kopi dan ceker pedas Mas Ali bisa jadi penglaris. Kalau Mas Ali mau, nanti bisa saya ajarkan."
"Ya kan sama saja, Pak. Penglaris itu ya pesugihan. Seperti warung makanan punya teman saya. Kata orang-orang, warungnya laris karena pakai pesugihan."
Laki-laki itu menuangkan kopinya ke lepek. Setelah meminumnya, baru kemudian ia menjelaskan.
"Penglaris dengan pesugihan itu beda Mas Ali, meski keduanya bertujuan untuk mendapatkan kekayaan. Kalau pesugihan, tanpa bekerja atau berusaha apapun orang yang memilikinya bisa mendapatkan kekayaan. Sebagai imbal balik, dia harus menyiapkan tumbal, entah itu dirinya sendiri atau dari keluarganya.
Sementara penglaris, itu ilmu khusus agar dagangan kita laris, banyak yang membeli. Dan, tidak membutuhkan tumbal. Hanya amalan atau lelaku tertentu saja.
Melihat gaya bicaranya, aku sedikit curiga laki-laki itu "orang pintar". Tapi, biasanya "orang pintar" penampilannya nyentrik. Sedangkan laki-laki ini penampilannya mirip orang kantoran.
"Ilmu penglaris dari Bapak ini, apa tidak dilarang agama?" tanyaku mulai tertarik, namun masih ragu-ragu.
"Oh enggak. Mas Ali jangan khawatir. Ilmu penglaris dagangan yang saya ajarkan nanti sama sekali tidak melanggar syariat agama. Beda dengan pesugihan yang digolongkan perbuatan syirik, menyekutukan Tuhan karena kita meminta sesuatu bukan kepada-Nya. Dan perbuatan semacam ini dosanya tidak terampuni."
"Terus, saya nanti harus bayar berapa ke Bapak?"
"Ha ha ha ha ha!" Laki-laki itu malah tertawa keras. "Mas Ali gak usah bayar. Asalkan Mas Ali sanggup petunjuk yang saya berikan. Bagaimana?"
"Ya, Pak. Saya sanggup. Yang penting warung kopi saya laris, dan seperti yang Bapak katakan tadi, tidak memakai tumbal pesugihan," kataku dengan penuh keyakinan.