"Enak, Mas. Pedasnya mantap, bumbunya pas," kata lak-laki itu memuji.
"Terima kasih, Pak," kataku, lalu mengangsurkan kopi yang sudah selesai kuseduh.
Laki-laki itu menghirup uap kopi, kemudian menuangkan kopinya ke lepek, sedikit demi sedikit. Ditiupnya sebentar, lalu diseruputnya hingga menyisakan ampas kopi.
"Nikmat kopinya. Gak terlalu manis, juga gak terlalu pahit. Masamnya terasa di lidah. Wah, kalau orang-orang pada ngerti kopi seduhanmu enak, ceker pedasmu mantap, warung kopimu bisa ramai lho, Mas."
"Pinginnya sih begitu, Pak. Tapi, namanya juga rejeki tiap orang berbeda. Mungkin hanya Bapak saja yang menganggap kopi dan ceker pedas saya enak. Tapi yang lain kan belum tentu. Buktinya warung kopi saya masih sepi, kalah sama warung kopi di ujung pasar sana," kataku sambil tersenyum masam.
"Memang, rejeki tiap orang berbeda. Tapi, pintu rejeki itu bisa kita buka lebar kalau kita mau berusaha lebih."
"Maksudnya...pakai pesugihan gitu?" tanyaku mencoba menebak.
"Ha ha ha ha. Ya enggak lah, Mas," jawab laki-laki itu.
"Kalau Bapak menyuruh saya pakai pesugihan, saya gak mau, Pak. Saya gak mau ada keluarga yang jadi tumbal pesugihan," kataku serius.
"Lho, siapa yang nyuruh Mas, eh maaf namanya siapa?"
"Ali, Pak."