Sudah sebulan usaha warung kopi yang kujalani sepi terus. Sehari, paling banter hanya ada 5 orang yang datang. Sudah begitu, yang sudah datang tak pernah kembali. Seperti sore ini, baru ada 3 orang yang datang ke warung kopiku.
Aku jadi berpikir, apa yang kurang dari warung kopiku. Lokasinya bagus, di tepi jalan raya provinsi. Tempatnya juga lumayan, meski tidak mewah seperti kafe-kafe berkelas di tengah kota.
Menu kopinya bermacam-macam pula. Kalau warung kopi lain biasanya hanya menyajikan kopi robusta, warung kopiku lengkap. Selain robusta, ada arabika dan kopi yang aromanya menyengat seperti nangka. Semua kopi itu aku peroleh dari petaninya langsung, di desa di lereng gunung Kawi.
Selain minuman kopi, kusediakan juga beberapa makanan ringan dan cemilan buatan istriku. Ada tahu brontak, weci, sampai ceker pedas.Tapi, ini semua belum mampu membuat warung kopiku laris manis.
"Kopinya satu, Mas."
Seorang laki-laki berusia sekitar 40 tahunan ternyata sudah duduk di depan meja panjang tempat aku meladeni pembeli. Pakaiannya rapi. Rambutnya disisir klimis.
"Kopinya satu, Mas," ulang laki-laki itu dengan tersenyum, sementara tangannya mengambil ceker pedas di piring.
"Oh iya, Pak. Maaf, saya tadi melamun. Jadi tidak tahu kalau bapak sudah duduk. Bapak mau kopi apa?"
"Mas punya kopi apa saja?"
"Ini ada arabika, robusta, sama yang beraroma nangka, Pak," jawabku sambil menunjuk toples-toples bubuk kopi.