Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Bodoh Sekali Kalau Kamu Ingin Jadi Penulis

15 September 2020   23:15 Diperbarui: 15 September 2020   23:23 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penulis adalah manusia yang merdeka dan tidak bisa disetir kecuali oleh jiwanya sendiri (ilustrasi: unsplash.com/Chris Spiegl)

Beberapa waktu lalu, aku ditawari seorang teman untuk ikut ambil bagian dalam kampanye program pemerintah yang tengah menuai polemik: Omnibus Law. Aku diminta menulis artikel yang intinya mendukung Omnibus Law dan mengajak pembaca untuk ikut mendukungnya pula.

"Aku tak bisa," kataku menolak penawaran temanku itu.

"Lho kenapa? Fee-nya lumayan lho Mas," kata temanku sambil menyebutkan nominal imbalan yang bakal kudapatkan, di atas imbalan rata-rata yang biasa kuterima bila menulis konten produk.

"Ya, kuakui imbalannya cukup menggoda. Tapi aku tak bisa. Ini bukan masalah imbalannya."

"Terus apalagi? Kesempatannya terbatas mas. Dari agensi hanya beberapa blogger saja yang ditawari."

"Yah, pokoknya aku tak bisa. Seandainya yang kamu tawarkan itu penulisan konten produk, tanpa pikir panjang langsung aku terima. Tapi untuk yang satu ini aku tak bisa."

"Maksud mas bagaimana?" tanya temanku dengan nada mendesak.

"Kamu kan tahu, secara politik aku berseberangan dengan pemerintah. Termasuk di antaranya menolak pengesahan Omnibus Law ini. Kamu bisa melihat jejak digital, baik itu postingan di media sosial atau tulisan di blog terutama di Kompasiana, aku kerap mengkritik pemerintah. Jadi, kalau tiba-tiba aku menulis konten yang mendukung pemerintah, tentu kelihatannya aneh. Tak hanya bagi pembaca yang biasa mengikuti tulisan-tulisanku, juga bagi diriku sendiri. Bagaimana mungkin aku tiba-tiba berbelok arah?"

"Alah, anggap saja mas sedang menulis konten produk seperti biasa," kata temanku mencoba meyakinkan.

"Ya beda lah. Saat menulis konten produk, aku bebas menulis pandanganku tentang produk tersebut, selama tidak menyimpang dari briefing yang diberikan. Asal kamu tahu, aku menulis berdasarkan apa yang kulihat, kudengar, kurasakan, dan yang tidak kalah penting adalah aku menulis untuk sesuatu yang aku inginkan.

Coba baca kembali beberapa artikelku, terutama yang berupa artikel untuk lomba blog dari instansi pemerintah. Aku masih tetap menyelipkan kritik, di samping aku menyampaikan pandanganku sendiri tentang tema yang ingin dituliskan.

Sekarang, kalau aku diminta menulis dukungan terhadap Omnibus Law, itu sama dengan melawan prinsipku sendiri sebagai blogger atau penulis. Lha wong aku jadi oposan kok malah kamu tawari untuk mendukung program yang jelas-jelas aku tidak setuju dengannya," kataku menjelaskan panjang lebar.

"Jadi mas Himam benar-benar gak mau?" tanya temanku setelah terdiam beberapa saat.

"Ya, maaf saja. Untuk kali ini aku benar-benar gak bisa. Coba tawarkan ini ke teman-teman yang lain, mungkin ada yang mau menerima dan bisa menuliskannya lebih baik," kataku meminta maaf.

***

Membaca ceritaku di atas, mungkin kamu berpikir aku sok idealis. Ada penawaran sebagus itu malah ditolak, dengan alasan tidak sesuai prinsip. Yah, mau bagaimana lagi, memang seperti itulah prinsipku dalam menulis.

"Bodoh sekali kalau ingin jadi penulis. Satu-satunya kompensasi adalah kebebasan mutlak. Dia tidak memiliki tuan kecuali jiwanya sendiri, dan itu, saya yakin, itulah sebabnya dia melakukannya." -- Roald Dahl

Seperti yang dikatakan penulis buku Charlie and The Chocolate Factory di atas, satu-satunya kompensasi bagi penulis adalah kebebasan mutlak. Itu sebabnya ia katakan seseorang itu bodoh sekali kalau ingin jadi penulis.

Penulis adalah manusia yang paling merdeka. Dia tidak bisa disetir kecuali oleh jiwanya sendiri. Dan itulah satu-satunya alasan mengapa ia mau menulis.

Tapi, bukankah dalam menulis konten ada briefing dari klien?

Memang betul. Setiap kali menerima penawaran untuk menulis konten, aku selalu meminta briefing lengkap, mulai dari tema, kata kunci sampai target pembaca. Sekalipun begitu, aku juga menyampaikan prinsipku bahwa aku bisa bebas menulis asal tidak menyimpang dari briefing yang diinginkan klien.

Aku bukan penulis atau blogger yang bertipe "Bounty Hunter", alias menulis karena ada imbalan. Jujur, aku tak menampik bila ada yang menawari untuk menulis konten. Tapi, aku juga melihat-lihat dulu, seperti apa tema kontennya, atau bagaimana aturan main penulisan konten tersebut.

Jika temanya menarik dan kupikir aku sanggup menuliskannya, penawaran itu kuterima. Namun, ada kalanya aku menolak bila aku menganggap aturan main yang diberikan klien mengekang kebebasanku dalam menulis, sekalipun temanya sangat mudah atau imbalannya cukup besar.

Dalam hal penulisan konten, secara pribadi aku menganggap kekuatan seorang penulis atau blogger itu terletak pada ulasan yang bebas dan tidak terkekang oleh bahasa promosi yang diinginkan perusahaan/klien.

Makanya, kalau kamu ingin menekuni profesi sebagai penulis atau blogger, pertimbangkan dengan matang. Apakah kamu menulis karena kebutuhan imbalan materi, atau karena kebebasan berekspresi lewat kata-kata?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun