Coba baca kembali beberapa artikelku, terutama yang berupa artikel untuk lomba blog dari instansi pemerintah. Aku masih tetap menyelipkan kritik, di samping aku menyampaikan pandanganku sendiri tentang tema yang ingin dituliskan.
Sekarang, kalau aku diminta menulis dukungan terhadap Omnibus Law, itu sama dengan melawan prinsipku sendiri sebagai blogger atau penulis. Lha wong aku jadi oposan kok malah kamu tawari untuk mendukung program yang jelas-jelas aku tidak setuju dengannya," kataku menjelaskan panjang lebar.
"Jadi mas Himam benar-benar gak mau?" tanya temanku setelah terdiam beberapa saat.
"Ya, maaf saja. Untuk kali ini aku benar-benar gak bisa. Coba tawarkan ini ke teman-teman yang lain, mungkin ada yang mau menerima dan bisa menuliskannya lebih baik," kataku meminta maaf.
***
Membaca ceritaku di atas, mungkin kamu berpikir aku sok idealis. Ada penawaran sebagus itu malah ditolak, dengan alasan tidak sesuai prinsip. Yah, mau bagaimana lagi, memang seperti itulah prinsipku dalam menulis.
"Bodoh sekali kalau ingin jadi penulis. Satu-satunya kompensasi adalah kebebasan mutlak. Dia tidak memiliki tuan kecuali jiwanya sendiri, dan itu, saya yakin, itulah sebabnya dia melakukannya."Â -- Roald Dahl
Seperti yang dikatakan penulis buku Charlie and The Chocolate Factory di atas, satu-satunya kompensasi bagi penulis adalah kebebasan mutlak. Itu sebabnya ia katakan seseorang itu bodoh sekali kalau ingin jadi penulis.
Penulis adalah manusia yang paling merdeka. Dia tidak bisa disetir kecuali oleh jiwanya sendiri. Dan itulah satu-satunya alasan mengapa ia mau menulis.
Tapi, bukankah dalam menulis konten ada briefing dari klien?
Memang betul. Setiap kali menerima penawaran untuk menulis konten, aku selalu meminta briefing lengkap, mulai dari tema, kata kunci sampai target pembaca. Sekalipun begitu, aku juga menyampaikan prinsipku bahwa aku bisa bebas menulis asal tidak menyimpang dari briefing yang diinginkan klien.