Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cara Membedakan Pakar Asli dan Pakar Imitasi

6 Agustus 2020   09:23 Diperbarui: 7 Agustus 2020   06:03 2003
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Untuk membedakan mana pakar asli dan pakar imitasi, kita bisa memakai pendekatan model persuasi (ilustrasi: unsplash.com/Austin Disel)

Setiap orang bisa menjadi pakar. Benar lho. Perhatikan saja arti kata "pakar" menurut KBBI: (orang) ahli; spesialis. Sedangkan kalau kita alihbahasakan ke bahasa Inggris, pakar atau expert artinya:

seseorang yang memiliki pengetahuan atau keterampilan yang komprehensif dan berwibawa dalam bidang tertentu.

Kata expert sendiri berakar dari kata kerja Latin "experiri", yang artinya to try (mencoba). Terkait erat dengan kata ini adalah kata "experimentum" (eksperimen/percobaan).

Definisi Pakar atau Ahli

Dari akar kata tersebut kita bisa sedikit mengambil kesimpulan bahwa seorang pakar adalah seseorang yang berpengalaman (dalam percobaan), terbukti dan teruji.

Sementara dalam literatur sosiologi keahlian (sociology of expertise), definisi keahlian biasanya berkisar pada keahlian khusus atau pengetahuan yang dimiliki seseorang. Sinonim yang sering digunakan adalah spesialis.

Kebalikan dari seorang ahli atau spesialis adalah amatir, atau orang awam. Karakteristik menjadi spesialis ini berlaku untuk beberapa peran dalam masyarakat modern, terutama profesional dan ilmuwan. 

Terkadang para ahli dianggap memiliki nilai moral atau kebajikan, disamping kompetensi teknisnya. Kebajikan ini dapat ditangkap dengan istilah-istilah seperti ketidaktertarikan atau ketidakberpihakan.

Tetapi para ahli tidak hanya dicirikan berdasarkan keterampilan dan pengalaman mereka. Yang penting adalah kinerja mereka. Para ahli diminta untuk membagikan pengetahuan mereka (atau setidaknya sebagian) dan menasihati orang lain apa yang harus dilakukan.

Seseorang boleh saja mengklaim diri sebagai ahli. Tapi jika tidak ada orang yang pernah membuktikan, atau minimal menyaksikan kinerjanya dan mendapatkan (sebagian) pengetahuan dan nasihatnya, maka ia belum bisa dikatakan seorang ahli.

Cara Menentukan Seseorang itu Ahli

Nah, di sinilah letak masalahnya. Bagaimana kita dapat menentukan bahwa seseorang memiliki penguasaan yang cukup atas suatu keterampilan teknis sehingga kita dapat mempercayai mereka? Bagaimana caranya kita bisa mengakui seseorang itu dapat menjadi pakar?

"Tamu akan menilai suatu pesta lebih baik daripada juru masak" -- Aristoteles.

Seperti yang dikatakan Aristoteles, banyak orang mungkin mengiklankan diri mereka sebagai ahli, tetapi mereka hanya akan dapat memainkan peran ini ketika orang lain mulai menggunakan keahlian mereka.

Misalnya nih, istriku dianggap pakar menjahit. Yah, setidaknya itu menurut anggapan para tetangga hingga orang-orang di lingkungan sekitar yang pernah menggunakan jasa/layanannya.

Tetangga rumahku yang gemar memasak juga dapat dianggap pakar memasak, karena banyak yang sudah mencicipi/merasakan hasil masakannya. Aku sendiri juga pernah dipanggil "pakar digital marketing" oleh beberapa komunitas UMKM karena jadi pembicara dan memberikan konsultasi tentang pemasaran digital pada mereka.

Tapi, tingkat kepakaran menjahit istriku mungkin kalah sama penjahit lain yang lebih terkenal. Kepakaran memasak dari tetanggaku mungkin kalah sama Bu Sisca Soewitomo, pak Bondan Winarno atau chef-chef lain yang lebih punya nama dan lebih diakui keahliannya. Sedangkan aku yang dianggap pakar oleh kelompok tertentu belum tentu disebut pakar pula oleh kelompok lain. 

Tingkat kepakaran seseorang tidak melulu ditentukan lewat seberapa luas ia mengetahui ilmu bidang tertentu yang dikuasainya. Seseorang mungkin tidak memiliki "penguasaan" teknis atas sesuatu bidang tertentu, tetapi tetap ahli dalam cara yang tidak bisa diklaim orang lain.

Ada yang namanya kepakaran (untuk selanjutnya kita sebut keahlian) kontribusi, di mana seseorang memiliki penguasaan yang cukup dari beberapa bidang teknis atau ilmiah untuk membuat kontribusi baru ke tubuh pengetahuan itu. 

Misalnya, dokter Anthony Fauci mulanya hanya dianggap pakar mikrobiologi. Karena dia membuat kontribusi baru ke dalam masalah pandemi Covid-19, dia kemudian dianggap sebagai pakar virus corona.

Lalu ada keahlian interaksional: yakni keahlian yang dibutuhkan untuk berbicara dalam bahasa para ahli. Keahlian semacam ini mungkin membuat seseorang disebut seorang ahli oleh para ahli itu sendiri. Keahlian ini tidak bergantung pada kontribusi khusus apa pun yang dilakukannya pada badan pengetahuan.

Jenis keahlian ketiga, seperti yang sudah kusinggung di atas, bisa disebut keahlian pengalaman. Orang-orang yang telah melalui suatu proses, walaupun mereka mungkin tidak dapat menjelaskan mekanisme dari proses itu sendiri, memiliki keahlian semacam ini. Sederhananya, orang-orang yang mungkin belum pernah mendapat ilmu tapi memiliki pengalaman langsung dalam bidang ilmu tersebut.

Ambil contoh Bob Sadino. Beliau tidak pernah mengenyam bangku sekolah dan mempelajari secara khusus ilmu tentang kewirausahaan. Tapi, beliau berkat pengalamannya secara langsung dapat disebut ahli atau pakar dalam bidang kewirausahaan.

Membedakan Pakar Asli dan Pakar Imitasi dengan Pendekatan Persuasi

Lalu, bagaimana caranya kita bisa membedakan pakar asli dan pakar imitasi?

Keahlian seseorang seringkali tak lepas dari bagaimana caranya ia dapat membujuk atau membuat orang lain percaya bahwa ia adalah ahli. Baik berdasarkan pengalaman maupun pengetahuannya. Di sinilah kemudian teknik persuasi menjadi penting bagi seorang ahli.

Untuk membedakan mana pakar asli dan pakar imitasi, kita bisa memakai pendekatan model persuasi dari Aristoteles. Dalam karya tulisnya yang terkenal, Retoric (Retorika), Aristoteles memperkenalkan 3 model persuasi yang sudah kita kenal baik: Ethos, Pathos dan Logos.

"Jenis pertama tergantung pada karakter pribadi pembicara; yang kedua tentang menempatkan audiens ke dalam kerangka pikiran tertentu; yang ketiga pada bukti nyata."

Ethos dalam bahasa Yunani berarti karakter. Ketika digunakan dalam konteks retorika atau narasi , itu merujuk pada otoritas atau kredibilitas pembicara.

Misalnya, jika kamu sakit parah (kuharap itu tidak terjadi), kamu mungkin lebih memercayai nasihat dokter daripada teman. Tentu, temanmu itu mungkin telah banyak 'googling' di situs-situs kesehatan atau kedokteran. Tetapi dokter memiliki otoritas dan pengalaman. Dia sudah terlatih selama bertahun-tahun dan merawat ribuan pasien.

Meski begitu, bukan berarti kamu tidak bisa mempercayai nasihat teman atau orang terdekat lainnya. Orang-orang awam juga dapat membangun kredibilitasnya melalui pengalaman emosional mereka.

Kamu dapat memercayai nasihat teman atau orang tercinta yang pernah sakit parah dan menceritakan pengalaman sakitnya itu. Inilah yang disebut pendekatan "pathos" atau emosi.

Namun, cerita seseorang hanya dapat dipercaya apabila disertai dengan logika atau fakta (logos). Pathos akan dianggap sebagai kesalahan logis (logical fallacy) jika kita tidak memiliki bukti faktual untuk mendukung ceritanya.

Menggunakan logos berarti kita memperlihatkan bukti  untuk menunjukkan bahwa metode kita berfungsi, bahwa posisi kita solid, bahwa klaim kita akurat.

Sama seperti kasus Hadi Pranoto yang mengklaim menemukan obat Covid-19 dan berhasil menyembuhkan ribuan orang. Kita hanya mendengar ceritanya saat diwawancarai Anji. Apakah kemudian kita percaya atau tidak klaim tersebut, kita bisa menentukannya lewat model pendekatan persuasi Aristoteles:

Apakah orang tersebut punya otoritas dan kredibilitas berdasarkan pengalaman maupun pengetahuannya? Apakah cerita dan penuturannya logis serta memiliki bukti faktual untuk menunjukkan klaimnya itu akurat?

Kesimpulannya, kepakaran seseorang tergantung dari bagaimana tingkat pengakuannya. Pengalaman pribadi, penilaian, dan kepercayaan dari orang lain jauh lebih relevan daripada tingkat pengetahuan seseorang agar ia bisa disebut sebagai ahli atau pakar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun