"Tamu akan menilai suatu pesta lebih baik daripada juru masak" -- Aristoteles.
Seperti yang dikatakan Aristoteles, banyak orang mungkin mengiklankan diri mereka sebagai ahli, tetapi mereka hanya akan dapat memainkan peran ini ketika orang lain mulai menggunakan keahlian mereka.
Misalnya nih, istriku dianggap pakar menjahit. Yah, setidaknya itu menurut anggapan para tetangga hingga orang-orang di lingkungan sekitar yang pernah menggunakan jasa/layanannya.
Tetangga rumahku yang gemar memasak juga dapat dianggap pakar memasak, karena banyak yang sudah mencicipi/merasakan hasil masakannya. Aku sendiri juga pernah dipanggil "pakar digital marketing" oleh beberapa komunitas UMKM karena jadi pembicara dan memberikan konsultasi tentang pemasaran digital pada mereka.
Tapi, tingkat kepakaran menjahit istriku mungkin kalah sama penjahit lain yang lebih terkenal. Kepakaran memasak dari tetanggaku mungkin kalah sama Bu Sisca Soewitomo, pak Bondan Winarno atau chef-chef lain yang lebih punya nama dan lebih diakui keahliannya. Sedangkan aku yang dianggap pakar oleh kelompok tertentu belum tentu disebut pakar pula oleh kelompok lain.Â
Tingkat kepakaran seseorang tidak melulu ditentukan lewat seberapa luas ia mengetahui ilmu bidang tertentu yang dikuasainya. Seseorang mungkin tidak memiliki "penguasaan" teknis atas sesuatu bidang tertentu, tetapi tetap ahli dalam cara yang tidak bisa diklaim orang lain.
Ada yang namanya kepakaran (untuk selanjutnya kita sebut keahlian) kontribusi, di mana seseorang memiliki penguasaan yang cukup dari beberapa bidang teknis atau ilmiah untuk membuat kontribusi baru ke tubuh pengetahuan itu.Â
Misalnya, dokter Anthony Fauci mulanya hanya dianggap pakar mikrobiologi. Karena dia membuat kontribusi baru ke dalam masalah pandemi Covid-19, dia kemudian dianggap sebagai pakar virus corona.
Lalu ada keahlian interaksional: yakni keahlian yang dibutuhkan untuk berbicara dalam bahasa para ahli. Keahlian semacam ini mungkin membuat seseorang disebut seorang ahli oleh para ahli itu sendiri. Keahlian ini tidak bergantung pada kontribusi khusus apa pun yang dilakukannya pada badan pengetahuan.
Jenis keahlian ketiga, seperti yang sudah kusinggung di atas, bisa disebut keahlian pengalaman. Orang-orang yang telah melalui suatu proses, walaupun mereka mungkin tidak dapat menjelaskan mekanisme dari proses itu sendiri, memiliki keahlian semacam ini. Sederhananya, orang-orang yang mungkin belum pernah mendapat ilmu tapi memiliki pengalaman langsung dalam bidang ilmu tersebut.
Ambil contoh Bob Sadino. Beliau tidak pernah mengenyam bangku sekolah dan mempelajari secara khusus ilmu tentang kewirausahaan. Tapi, beliau berkat pengalamannya secara langsung dapat disebut ahli atau pakar dalam bidang kewirausahaan.