"Pah, tahun ini enggak berkurban?" tanya Mira pada suaminya.
"Enggak dulu Mah. Kita kan lagi banyak keperluan. Bisnis papa juga lagi sepi kena pandemi. Apalagi anak-anak baru masuk tahun ajaran baru, keperluan mereka juga banyak," jawab Burhan, suami Mira.
"Iya juga sih Pah. Omong-omong, Mamah lihat ada sepeda lipat di garasi. Papah baru beli ya?"
Mendadak, Burhan terlihat seperti salah tingkah.
"Eh iya Mah. Baru minggu kemarin Papah beli nitip teman dari luar negeri. Maaf ya enggak sempat bilang ke Mamah."
"Berapa harganya Pah?" tanya Mira tidak sadar dengan gelagat salah tingkah suaminya.
"Cuma tiga juta kok Mah."
"Ih, kok mahal amat Pah?"
"Enggak mahal kok sayang. Teman Papah lainnya malah beli yang lebih mahal. Kalau sepeda yang Papah beli itu level biasa saja kok."
"Ya sudah, asal sepedanya dirawat dan dipakai yang benar lho Pah."
"Iya Mah. Ini Papah juga usahakan setiap minggu bersepeda sama teman-teman dan relasi Papah. Kadang sebelum pergi kerja Papah juga sempatkan bersepeda keliling komplek," kata Burhan. Dalam hati dia bersyukur Mira tidak tahu harga sepeda yang sebenarnya. Karena kalau sampai tahu, bisa-bisa pecah perang dunia ketiga di antara mereka.
Hari demi hari berlalu, Hari Raya Kurban semakin dekat. Di suatu Senin yang cerah ketika Burhan sudah berangkat kerja, datang teman Mira ke rumahnya.
Melihat sepeda terparkir di depan garasi, iseng dia bertanya pada Mira.
"Wah, sepedanya baru ya Mbak?"
"Iya, punya suami saya. Katanya baru beli nitip temannya dari luar negeri. Yah, namanya hobi Mbak, meski mahal kadang dia beli juga."
"Berapa suami mbak beli?"
"Katanya sih tiga juta."
"Wah, murah banget mbak. Kalau boleh saya mbak. Nanti biar suaminya beli lagi nitip ke temannya. Lagi pingin sepedaan nih. Saya bayar 6 juta deh."
Mendengar penawaran temannya, otak Mira langsung berpikir cepat. Sepeda harganya 3 juta, dibeli 6 juta. Berarti dia untung 3 juta. Boleh juga nih untungnya nanti buat beli kambing kurban.
"Enam juta ya mbak?"
"Iya mbak. Langsung saya transfer hari ini juga."
"Ya wis boleh. Nanti biar Mas Burhan kusuruh beli lagi."
Malam hari ketika pulang dari kerja, Burhan melihat sepeda barunya sudah tak ada di garasi.
"Mah, sepedanya papah ditaruh di mana?"
"Anu Pah, tadi ada temanku datang terus naksir sepedanya. Dia langsung pingin beli. Dia kasih harga 6 juta lho pah. Ini 3 jutanya, terus yang 3 juta Mamah belikan kambing buat kurban. Tadi sudah nitip ke Pak Sarip.
Deg. Jantung Burhan serasa tertimpa beton ribuan kilo. Sepeda Brompton seharga puluhan juta dijual istrinya hanya 6 juta saja.
***
Ibadah kurban merupakan salah satu refleksi dari rasa syukur kita kepada Allah yang sudah menganugerahkan rezeki yang tak terhingga. Untuk menunaikan ibadah khusus ini, ada dua hal yang harus kita penuhi:
- Kemauan
- Kemampuan
Kita punya kemauan untuk berkurban, tapi bila kondisi ekonomi kita belum mampu kita belum bisa menunaikan ibadah kurban.
Begitu pula sebaliknya, secara ekonomi kita mampu. Punya penghasilan yang lebih dari cukup. Tapi kalau hati kita tidak tersentuh KEMAUAN, hasilnya sama seperti kisah pak Burhan di atas. Beli sepeda puluhan juta bisa, tapi untuk berkuban satu kambing terasa berat.
Kita sering membaca kisah-kisah diluar nalar, di mana seseorang yang secara hitung-hitungan matematika penghasilannya tidak cukup untuk membeli hewan kurban. Tapi ketika Idul Adha tiba, mereka mampu membelinya.
Mengapa bisa seperti itu?
Karena sejak dini mereka memupuk KEMAUAN. Mereka sadar ibadah kurban bukan matematika biasa yang satu ditambah satu menjadi dua. Ibadah kurban adalah kalkulator berkah, di mana satu disandingkan satu bisa menjadi sebelas, atau bahkan lebih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H