Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Penulis Kelinci dan Penulis Kura-kura, Kamu Termasuk yang Mana?

18 Juli 2020   20:49 Diperbarui: 7 April 2021   12:42 5679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kalau kita tarik kisah lomba lari kelinci dan kura-kura dalam dunia penulisan, ada dua karakter penulis (ilustrasi: bbc.co.uk)

Selain kelas (kalau tidak mau disebut kasta) Kompasianer Verifikasi Biru (KVB) dan Hijau (KVH), ternyata ada lagi klasifikasi Kompasianer. Kali ini, pak Felix Tani yang pertama kali mempopulerkannya, yakni Kompasianer Milenial dan Kompasianer Kolonial.

Kompasianer Milenial tentu saja sebutan untuk para penulis Kompasiana yang usianya masih muda, jiwanya masih bergejolak penuh semangat, dan tulisannya kerap menyuarakan aspirasi dan inspirasi anak muda terkini.

Sedangkan Kompasianer Kolonial adalah sebutan untuk para penulis Kompasiana yang, selain usianya sudah beranjak senja, juga tema tulisannya itu-itu saja. Pengalaman masa lalu, motivasi, pengalaman masa lalu, inspirasi, pengalaman hidup masa lalu, motivasi....yah begitulah lingkaran kreativitas mereka. Sepertinya tidak ada tema lain yang kekinian dari para Kompasianer Kolonial ini.

Ah sudahlah. Aku tidak ingin memperpanjang dan memperuncing perdebatan tentang Kompasianer Milenial dan Kompasianer Kolonial. Toh Kompasiana tutup mata dengan jenis (label) akunnya. Yang mereka nilai adalah karyanya.

Nah, bicara tentang karya tulis khususnya di Kompasiana, aku punya klasifikasi lagi nih. Klasifikasi ini aku dasarkan pada karakter dan keterampilan seseorang dalam menulis artikel. Seperti yang kusebut dalam judul, dua tipe penulis berdasarkan karakter dan keterampilan menulisnya, yakni Penulis Kelinci dan Penulis Kura-kura.

Dongeng Kelinci dan Kura-kura

Aku tidak sedang bercanda. Sebelum kujelaskan seperti apa kedua tipe penulis tersebut, ijinkan aku mendongeng sebentar. Sebuah dongeng dari Aesop yang sudah kita kenal dengan baik: kelinci dan kura-kura.

Biar ingat, akan kuceritakan fabel itu dengan bahasa yang lebih kekinian.

Alkisah, seekor kelinci sedang mempertontonkan kebolehannya berlari. Semua hewan di hutan yang melihatnya sepakat kelinci dapat berlari sangat cepat.

"Jadi, siapa yang mau balapan?" kata si Kelinci. "Di antara kalian, kira-kira adakah yang bisa mengalahkanku?"

Semua hewan terdiam. Tak ada hewan yang berani meladeni tantangan si Kelinci.

"Gimana nih? Masa tak ada yang berani mencoba lomba lari denganku?" tantang si Kelinci dengan jumawa.

"Aku akan mencobanya," kata Kura-kura.

Mendengar jawaban si Kura-kura, Kelinci itu tertawa.

"Kamu? Makhluk paling lambat di seluruh dunia? Maaf ya, aku tidak ingin membuang-buang waktu dengan berlomba melawan kura-kura. "

""Kamu takut aku mungkin mengalahkanmu?" tanya Kura-kura.

Beberapa hewan langsung tertawa sehingga Kelinci berkata, "Takut heh? Mari kita berlomba sekarang  juga, biar kita lihat siapa yang terakhir tertawa."

"Tidak sekarang, tapi minggu depan. Biar aku berlatih dulu. Bukankah kamu bilang jalanku paling lambat?" kata Kura-kura.

"Ok, kutunggu minggu depan di tempat ini," kata Kelinci lalu melesat lari.

Minggu berikutnya, banyak hewan berkumpul di tempat yang sudah ditentukan untuk menyaksikan perlombaan lari paling aneh, antara Kelinci yang terkenal cepat dan Kura-kura yang dianggap hewan paling lambat sedunia.

"Perlombaan dimulai di sini," kata Rubah yang ditunjuk jadi hakim, menunjuk ke garis di tanah.

"Dan berakhir di pohon itu di sisi lain lapangan. Yang pertama menyentuh pohon adalah pemenangnya. Sudah siap? Satu, dua, tiga......"

Dengan disaksikan banyak hewan lain di hutan kelinci langsung melesat meninggalkan kura-kura di garis start. Menjelang garis finish, si kelinci yang sangat yakin akan memenangkan lomba memutuskan untuk beristirahat tidur siang.

Akhir dari fabel ini sudah kita ketahui. Bukan Kelinci yang menang lomba, melainkan Kura-kura. Apa moral cerita yang bisa kita dapatkan?

Guruku dulu bilang moral cerita ini adalah jangan sombong. Guruku yang lain mengatakan moral cerita lomba lari kelinci dan kura-kura ini adalah jangan pernah meremehkan orang lain. Mungkin, kamu punya pandangan berbeda tentang moral ceritanya?

Aesop sendiri tidak menjelaskan apa pelajaran dari dongeng fabel yang ia ceritakan. Tapi seorang penyair Romawi kuno, Publius Ovidius Naso  atau yang dikenal dengan nama pendeknya Ovid, menerjemahkan moral cerita kelinci dan kura-kura itu dalam kutipan yang sederhana:

"Air yang menetes keluar dari batu bukan melalui kekuatan, tetapi melalui kegigihan."

Penulis Kelinci dan Penulis Kura-kura

Begitulah, kalau kita tarik kisah lomba lari kelinci dan kura-kura itu dalam dunia kepenulisan, maka ada dua karakter penulis seperti yang kukatakan sejak awal:

  • Penulis "kelinci", yakni mereka yang bisa dengan cepat mengeksekusi ide-ide di kepala mereka lalu menuangkannya dalam bentuk rangkaian kata-kata yang indah di lembar halaman kosong. Dan, tipe penulis berikutnya adalah:
  • Penulis kura-kura, yakni mereka yang lambat dalam mengerjakan tugas, tapi tetap gigih dan semangat.

Baik penulis tipe kelinci atau kura-kura sama bagusnya dalam situasi dan kondisi tertentu. Penulis kelinci bagus dalam menulis artikel yang membutuhkan kecepatan, misalnya artikel dengan tenggat waktu yang singkat. Dengan kekuatan berupa pengalaman maupun perbendaharaan kosakata yang lebih banyak, penulis tipe kelinci bisa dengan cepat menulis dan mengeksekusi ide-ide tulisan.

Sedangkan penulis tipe kura-kura bagus dalam pekerjaan yang membutuhkan ketekunan dan perencanaan strategi yang matang. Misalnya untuk menulis artikel yang membutuhkan riset mendalam.

Namun, tidak selamanya penulis tipe kelinci selalu cepat menyelesaikan tugas untuk kemudian beralih ke tugas lainnya. Kadang, tipe penulis kelinci juga bisa menjadi lamban seperti kura-kura.

Setiap penulis pasti pernah mengalami bad mood, atau mungkin writer block yang dapat melunturkan kekuatan menulisnya. Sama seperti si Kelinci dalam fabel Aesop yang ingin istirahat tidur siang sebentar karena merasa sudah unggul di depan.

Kata beberapa teman, aku punya keterampilan menulis dengan cepat, mengingat latar belakangku sebagai penulis lepas beberapa tahun belakangan.

"Ah, kalau Mas Himam 30 menit juga sudah jadi artikelnya."

Jujur saja, di luar apresiasi yang diberikan aku sendiri tidak merasa seperti itu. Aku senang dan bisa menulis dengan cepat saat gelombang inspirasi menghantam kepalaku. Tapi, kepribadian kelinci ini seringkali gelisah. Dia ingin istirahat, tidur siang yang nyaman alih-alih memikirkan dan mengerjakan tugas yang dibebankan.

Saat sisi kelinci itu memudar, sementara garis finish sudah tampak di depan, apa yang seharusnya kulakukan?

Pada saat seperti ini, aku ingat dengan nasihat Stephen King seperti yang sudah pernah kutulis sebelumnya,

"Satu kata setiap saat".

Ya, satu kata yang terlintas di kepala langsung kutulis. Bagaimana bila aku kehabisan kata-kata?

Berhenti.

Ambil nafas panjang, jauhi laptop singkirkan pena dan buku. Lalu kembali dengan kata-kata berikutnya. Ibarat langkah kura-kura, satu demi satu kata-kata yang kutulis itu akhirnya akan membentang hingga aku bisa melihatnya sebagai artikel yang baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun