Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Yang Terbaik Belum Tentu Kita Butuhkan

23 Juni 2020   09:38 Diperbarui: 23 Juni 2020   09:40 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lebih baik menjadi Ikan Besar di Kolam Kecil daripada Ikan Kecil di Kolam Besar (ilustrasi: unsplash.com/Alice Dietrich)

Harap-harap Cemas Calon Siswa Baru SMA yang Menanti Pilihan Terbaik

Minggu ini, calon siswa SMA/SMK dan orangtuanya tengah menanti harap-harap cemas. Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tengah berlangsung di beberapa daerah di Indonesia untuk tahun ajaran 2020/2021.

Tidak terkecuali dengan putri sulungku. Setelah mendaftarkan diri di SMAN 1 sebagai pilihan pertama, setidaknya tiap satu jam dia mengecek hasil pemeringkatan PPDB.

Pada PPDB SMA sistem zonasi tahun ini, hasil pemeringkatan ditentukan berdasarkan jarak rumah dengan sekolah pilihan. Setelah itu, pemeringkatan calon siswa berdasarkan usia dan waktu pendaftaran.

Baru hari pertama pendaftaran, asa putriku untuk bisa masuk di sekolah impiannya langsung merosot tajam. Peringkat pendaftarannya perlahan mulai tergeser oleh calon siswa lainnya yang rumahnya lebih dekat.

Rumah kami memang berjarak cukup jauh dari SMAN 1 yang dipilihnya. Tapi, ini satu-satunya pilihan paling logis karena SMA Negeri lainnya berjarak lebih jauh lagi.

Sebagaimana kegalauan yang tengah melanda putriku saat menanti hasil yang terbaik, sejak usia muda kita diajarkan untuk membidik yang terbaik. Sekolah terbaik, perusahaan terbaik, orang-orang terbaik untuk bergaul.

Tetapi bagaimana jika "yang terbaik" itu bukan yang kita butuhkan?

Bagaimana jika, dengan mengelilingi diri kita dengan orang-orang "bergengsi", sekolah favorit, perusahaan terbaik, kita malah menyabot pertumbuhan kita sendiri?

Mungkin kisah lima seniman muda Prancis ini bisa menjadi contoh, bahwa yang terbaik tidak selalu kita butuhkan.

Kisah Seniman Muda Prancis Membidik yang Terbaik

Paris, 1860-an.

Empat seniman muda sedang berbincang di Cafe Guebois. Mereka - Claude Monet, Pierre-Auguste Renoir, Alfred Sisley dan Frederic Bazille -- membahas seni, kehidupan dan filosofi di bawah bimbingan Edouard Manet, seniman senior yang sudah membuat puluhan lukisan terkenal.

Perbincangan mereka menjadi serius saat membahas masalah bisnis seni lukis. Lebih spesifik lagi, bagaimana karya seni mereka bisa masuk ke Salon de Paris.

Sejak dibuka pada 1667, Salon de Paris yang awalnya tempat untuk memamerkan karya seni resmi milik Acadmie des Beaux-Arts di Paris menjelma menjadi galeri seni terkemuka untuk memamerkan karya seni terbaik.  Para seniman di seluruh Eropa mengirim lukisan terbaik mereka untuk dinilai dan dipertimbangkan oleh panel juri. Karya seni yang diterima akan digantung di ruang pameran selama enam minggu mulai bulan Mei.

Selama pameran berlangsung, para pengunjung berkerumun di lukisan favorit mereka. Para pelukis top dianugerahi medali. Mereka menjadi seniman terkenal, menerima kompensasi finansial dan reputasi. Bagi seniman Eropa saat itu, Salon de Paris adalah segalanya.

Dalam diskusinya, para seniman muda Prancis itu mengajukan pertanyaan yang sama: Bagaimana caranya agar lukisan mereka diterima oleh panel juri dan kurator Salon de Paris?

Berulang kali lukisan-lukisan mereka ditolak. Tanpa lukisan yang ditampilkan di Salon, mereka seolah tidak memiliki peluang untuk bertarung dalam kerasnya dunia seni. Praktis, saat itu tidak ada yang tertarik dengan karya seni mereka.

Di luar kebutuhan finansial yang mendesak, para pelukis muda itu melihat pola lukisan yang bisa tampil di Salon de Paris hampir sama: Lukisan perlu dibuat dengan cermat, diterangi dengan baik, dan menampilkan desain konvensional. Penonton mengharapkan karya seni yang berpusat pada tentara, wanita cantik, atau hewan dari mitologi atau sejarah.

Tapi, pola itu tidak berlaku bagi para seniman muda itu. Bagi mereka, seni adalah tentang mengekspresikan adegan dari kehidupan sehari-hari: jalan-jalan di Paris pada hari hujan, matahari terbenam di tepi pantai, deretan bangunan, dan kapal berlabuh.  Bagi mereka, apa yang terjadi hari ini adalah seni.

Jadi, kelompok seniman kecil itu mulai mempertimbangkan pilihan:, apakah lebih baik terus mencoba memasukkan karya seni mereka ke Salon, atau apakah sudah waktunya membuat pameran sendiri?

Pilihan pertama memungkinkan mereka untuk terus menaruh harapan, tetapi itu artinya mereka mungkin harus mengubah gaya dan mengorbankan kebebasan ekspresi seni yang mereka yakini saat ini.

Pilihan kedua adalah tetap bebas, namun itu berarti masa depan mereka  dipenuhi dengan ketidakpastian.

Akhirnya, Monet, Renoir, Sisley, dan beberapa pelukis muda lain memutuskan untuk mengadakan pameran kecil pada tahun 1874. Walaupun hanya sekitar tigapuluh lima ratus orang yang hadir, itu lebih dari cukup. Dari sinilah mereka kemudian dikenal sebagai pelopor seni Impresionisme.

Yang Terbaik Belum Tentu Kita Butuhkan

Dalam bukunya David dan Goliath, Malcolm Gladwell berpendapat bahwa hal-hal yang biasanya kita lihat sebagai kelemahan justru dapat menjadi kekuatan tersembunyi yang membuat diri kita menjadi lebih kuat. Apa yang awalnya kita anggap sebagai penghalang bisa menjadi rahasia kemenangan. Dalam hal ini, lebih baik menjadi Ikan Besar di Kolam Kecil daripada Ikan Kecil di Kolam Besar.

Belajar di sekolah terbaik adalah impian setiap anak. Namun, sekolah terbaik sering menghasilkan lingkungan yang serba kompetitif. Setiap siswa berjuang keras untuk dapat menonjolkan diri sebagai yang terbaik.

Dalam kondisi seperti  ini, tidak mudah bagi seorang siswa  untuk bisa menonjol sesuai dengan bakat dan minatnya. Kadang, lingkungan yang terlalu kompetitif juga dapat menyebabkan seseorang mudah terkena depresi. Akar masalahnya adalah kita terbiasa untuk membandingkan diri dengan apa yang bisa dicapai orang lain.

Melihat suasana hati putriku yang dirundung galau itu, aku mencoba memberi motivasi . Sembari membesarkan hatinya bahwa insyaallah dia akan diterima di sekolah pilihannya, kukatakan juga kepadanya bahwa sepahit apa pun kenyataan yang dia terima nanti, seandainya dia tidak diterima di sekolah pilihannya, itu adalah yang terbaik untuknya saat ini.

Lebih Baik Jadi Ikan Besar di Kolam Kecil

Jika "terpaksa" belajar di sekolah yang "biasa-biasa saja", ada harapan besar seorang siswa bisa tumbuh dan berkembang dengan sewajarnya, alih-alih terlalu memikirkan persaingan untuk menjadi yang terbaik. Lebih baik menjadi ikan besar di kolam yang kecil dulu, daripada menjadi ikan kecil di kolam yang besar.

Semua orang tentu dapat menjadi ikan besar di kolam yang besar pula. Tapi, untuk itu dia harus menjadi ikan besar di kolam yang kecil dulu.

Dengan usia yang masih muda dan jenjang pendidikan yang masih terbuka lebar, biasakan anak-anak kita untuk menerima lingkungan sekolahnya di manapun dia diterima. Biarkan dia tumbuh menjadi ikan besar di kolamnya sendiri. Kelak, mungkin dia yang akan menjadi ikan paling besar di antara kumpulan ikan dalam kolam yang lebih besar.

Seperti pelopor seni lukis impresionis yang aku ceritakan di atas, awalnya pameran kecil mereka dicemooh kritikus dan penikmat seni Salon de Paris. Tetapi lambat laun ada orang lain yang tertarik pada karya mereka.

Seni Impresionis akhirnya mulai dipamerkan di New York dan London. Pada 1879, pameran lukisan-lukisan Renoir sukses dan dipuji banyak orang. Bertahun-tahun kemudian, Monet dan Pissarro mulai menikmati hasil kreativitas seni mereka. Hari ini, gabungan lukisan Impresionisme bernilai lebih dari satu miliar dolar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun