Hilal telah tampak. Itu artinya besok sudah lebaran. Tapi hatiku tidak gembira membaca berita sidang isbat yang memutuskan puasa kali ini digenapkan hingga 30 hari.
Sambil terduduk lesu di pelataran masjid yang kusinggahi untuk berbuka puasa dan salat maghrib, aku mengingat kembali percakapan dengan putri semata wayangku pagi tadi.
"Pak, nanti jadi beli baju lebarannya ya. Sekalian beli kue-kuenya."
Entah apa yang harus aku katakan nanti saat bertemu dengannya di rumah. Haruskah aku berbohong? Ah, tak tega rasanya aku membayangkan wajah polos putriku yang sedang menanti penuh pengharapan pada bapaknya.
Aku lalu mengemas tas besar berisi kurma dan madu yang setengah harian ini belum juga ada yang membeli. Baru satu bulan yang lalu aku memutuskan untuk berjualan kurma dan madu keliling kota.
Pandemi Covid-19 membuat perusahaan tempatku bekerja langsung kolaps. Tak ada penjualan, berarti tak ada biaya untuk menggaji karyawan. Setelah menimbang dengan berat hati, manajemen perusahaan memutuskan untuk memutus kerja ratusan karyawan, termasuk diriku tanpa ada pesangon. Perusahaan hanya sanggup membayar gaji karyawan di bulan berjalan.
Gaji sebulan yang tidak seberapa itu pun lalu kugunakan untuk modal berjualan kurma dan madu. Setelah beberapa hari berjualan, keuntungan yang aku harapkan belum juga bisa menutup modal. Sementara tabunganku kian hari kian tergerus kebutuhan sehari-hari.
Mendadak kudengar suara memanggil, membuyarkan lamunanku.
"Pak, tunggu sebentar."
Aku menoleh ke belakang. Kulihat seorang pemuda bergegas menghampiriku sambil membawa bungkusan.
"Ini buat buka puasa. Tadi saya lihat bapak belum mengambilnya."