Assalamualaikum, Wr. Wb,Â
Pembaca Kompasiana yang dirahmati Allah,
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas berkah dan rahmatNya, kita semua hingga detik ini masih diberi kesehatan, keselamatan, dan yang lebih penting lagi kita masih diberi karunia iman dan Islam.
Pembaca Kompasiana yang dirahmati Allah,
Di sela-sela perjuangan dokter, perawat dan tenaga medis lainnya, kita dikejutkan dengan pernyataan beberapa orang yang terkesan meremehkan pandemi Covid-19. Dengan bangganya mereka mengabaikan anjuran, kalau tidak mau dikatakan melanggar perintah, untuk tetap di rumah saja. Bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah dari rumah.
Salah satu alasan yang sering kita dengar dari mereka yang abai dengan anjuran dan protokol kesehatan ini adalah, "Kita semua akan mati. Entah itu kena penyakit Covid-19 atau sebab yang lain."
Pembaca Kompasiana yang dirahmati Allah,
Tentu saja kita semua akan mati. Setiap makhluk hidup di dunia ini akan mati. Tak ada yang abadi, kecuali Sang Pencipta alam semesta itu sendiri.
Setiap yang menangis, suatu saat ia akan ditangisi. Setiap yang meratapi suatu saat ia yang akan diratapi. Tapi kita tidak akan pernah tahu, kapan, di mana, dan bagaimana kita meninggalkan dunia yang fana ini kelak.
Pembaca Kompasiana yang dirahmati Allah,
Pelajaran dan hikmah terbaik dari pandemi Covid-19 ini bukan bagaimana kita hidup berdampingan dengan virus corona. Bukan bagaimana kita merencanakan mitigasi dan mempersiapkan The New Normal, Tatanan Kehidupan Normal Baru. Pelajaran terbaik yang bisa kita ambil adalah bagaimana kita mempersiapkan kematian.
Silahkan saja menantang corona, silahkan saja meremehkan protokol kesehatan yang sudah ditetapkan otoritas kesehatan negara kita. Tapi, beranikah kita meremehkan kematian yang sudah pasti akan menjemput kita?
Pembaca Kompasiana yang dirahmati Allah,
Betapa banyak orang yang di pagi hari tertawa, di sore hari ia ditangisi. Seseorang yang di malam hari ia menyalatkan dan menguburkan tetangga atau saudaranya, ternyata di pagi hari ia yang gantian disalatkan dan dikuburkan.
Sayangnya, kita seperti melupakan pelajaran paling penting ini. Kita seperti orang bodoh, yang meskipun berulangkali diberitahu, setiap saat diajari guru, tapi kita tidak mengerti juga apa pelajaran yang sedang disampaikan itu.
Ibnu Umar r.a. bertanya pada Rasulullah SAW :
"Wahai Rasulullah, orang mukmin mana yang paling cerdas?"
Rasulullah SAW menjawab,
"Yang paling banyak mengingat kematian, dan yang paling baik persiapannya untuk akhirat, mereka itulah orang-orang cerdas" (HR Ibnu Maajah no 4249).
Benar demikian apa yang disampaikan junjungan kita Nabi Muhammad dalam hadis di atas. Orang yang cerdas, mukmin yang cerdas adalah mereka yang tahu bahwa ia sama sekali tidak tahu kapan waktunya meninggalkan dunia ini, di mana nanti dan bagaimana caranya. Ia tidak tahu apakah kelak akan meninggal dalam keadaan khusnul khatimah atau malah dalam keadaan bermaksiat.
Karena ketidaktahuannya, ia selalu mengingat hari perpisahan tersebut. Ia selalu mengingatkan diri bahwa kelak ia pun akan ditangisi. Namun tak hanya sekedar mengingat, ia juga mempersiapkan dirinya sebaik mungkin. Ia siapkan bekal untuk perjalanan mudik ke kampung halaman nan abadi. Inilah orang yang cerdas sebagaimana yang disampaikan Rasulullah SAW.
Adapun orang yang bodoh adalah orang yang pura-pura lupa bahwa ia tidak tahu kapan dirinya meninggal, lantas ia tidak menyiapkan bekal apapun juga. Ia berusaha melupakan hari perpisahan tersebut dengan menghabiskan waktunya untuk menikmati dunia sepuas-puasnya. Sungguhpun begitu, ia tak akan luput dari kematian itu sendiri.
Pembaca Kompasiana yang dirahmati Allah,
Kematian adalah hal yang pasti datang, Tak ada yang tahu kapan malaikat maut akan datang mencabut nyawa. Layaknya anak panah yang tak pernah meleset, bagitu juga mati. Ia akan datang pada siapa saja meski orang tersebut berusaha menghindarinya (Ali Imran: 185).
Dan tiada seorang jiwa pun yang mengetahui di belahan bumi manakah ia akan mati (Luqman: 34).
Tak ada tempat untuk bersembunyi. Di mana saja kita berada, kematian akan mendapatkan kita, sekalipun kita berada di benteng yang kokoh, atau di lubang semut yang paling kecil (An-Nisa:78)
Sekiranya maut nanti akan menjemput kita, sedangkan kita belum sempat mempersiapkan bekal perjalanannya, yang tersisa hanya penyesalan semata.
"Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang yang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Tuhannya, (mereka berkata): "Ya Tuhan kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami (ke dunia), kami akan mengerjakan amal saleh, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang yakin"" (QS. 32:12).
"Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, Maka Sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan" (QS Al-Jumu'ah : 8).
Pembaca Kompasiana yang dirahmati Allah,
Jadi, apakah kita termasuk orang cerdas ataukah orang bodoh? Apakah kita bisa menerima dan mengambil pelajaran terbaik dari pandemi Covid-19, atau malah meremehkannya begitu saja?
Semakin sering mengingat kematian, semakin cerdaslah kita semua. Dan, semakin lalai kita dari kematian, maka semakin bodohlah kita. Inilah pelajaran terpenting dari pandemi Covid-19, yang menjadi tolok ukur kecerdasan orang-orang yang beriman.
Semoga Allah SWT senantiasa merahmati kita semua, menjaga kita semua dari marabahaya penyakit Covid-19. Semoga Allah SWT juga senantiasa menjaga hati kita untuk selalu mengingat pelajaran yang paling berharga ini, mengingat kematian demi kematian yang setiap saat kita dengar kabar beritanya.
Wassalamualaikum, Wr. Wb
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H