Adzan maghrib sudah berkumandang. Haji Imron pun bergegas mengayunkan langkahnya ke masjid. Saat melewati sebuah rumah kost yang dihuni para mahasiswa, dilihatnya ada seorang anak muda masih memegang gitar, dengan suara petikan yang terdengar pelan.
"Tidak ke masjid, Rif?" tanya Haji Imron pada Arif, si pemuda tersebut.
"Sebentar Pak Haji", jawab Arif, lalu kembali perhatiannya tertuju pada gitar yang dipegangnya. Haji Imron tak bertanya lagi, kakinya pun diayunkan cepat-cepat ke arah masjid, takut ketinggalan sholat berjamaah.
Saat pulang usai sholat maghrib, Haji Imron kembali lewat ke rumah kost tersebut. Disana, masih dilihatnya Arif sedang asyik memetik gitarnya pelan-pelan. Kali ini, tanpa menyapa sang pemuda, Haji Imron melangkahkan kakinya pulang ke rumahnya.Â
Digelengkan kepalanya, seraya membatin, "Dasar anak muda sekarang, diajak sholat sulitnya minta ampun...."
Begitulah, tiap kali Haji Imron ke masjid untuk sholat lima waktu berjamaah, dilihatnya Arif hanya nongkrong di beranda rumah kostnya. Kalau tidak sedang bermain gitar, Arif terlihat membaca buku.
Meski menggerutu melihat kelakuan Arif, semangat dakwah Haji Imron yang baru pulang dari naik haji tak surut. Dicobanya cara lain yang sekiranya tidak akan kentara jika ia bermaksud menasehati anak muda ini.
Suatu kali, diberinya Arif sarung baru.
"Rif, ini ada sarung baru, oleh-oleh habis pulang naik haji kemarin," kata Haji Imron sambil menyerahkan sarung bermotif kotak-kotak kepada Arif.
Sambil tersenyum gembira, Arif menerima sarung itu, lalu dipakainya langsung di depan Haji Imron.
"Wah, bagus sekali pak Haji. Kainnya lembut, pasti mahal harganya ya. Sarungnya beli di Arab langsung ya pak Haji?" kata Arif memuji. Tubuhnya berputar seperti peragawati yang memperlihatkan busana rancangan desainer ternama.
Tak urung, hati Haji Imron sumringah mendengar pujian Arif, sekalipun tangannya melambai menepis pujian itu.
"Ah, nggak mahal kok. Sama seperti sarung yang ada disini. Ya sudah, saya ke masjid dulu, udah keburu mau iqomat tuh," kata Haji Imron. Kata masjid dan iqomat diucapkannya dengan sedikit tekanan.
"Iya pak Haji. Terima kasih buat sarungnya," timpal Arif sambil mencopot sarung dan melipatnya dengan rapi.
Namun, apa yang diharapkan Haji Imron tak kunjung ia dapatkan. Anak muda itu tak juga ia lihat masuk masjid.
Lama-lama, Haji Imron pun bosan berharap. Pikirnya, pastilah Arif itu anak muda tipe sekarang, yang agamanya hanya sekedar jadi pelengkap isian di KTP saja.
Suatu saat, Haji Imron bermimpi. Dalam mimpinya, dia hampir jatuh ke jurang yang di dalamnya terdapat api berkobar besar. Untung saja, sebelum jatuh, ada sebuah tangan yang keburu menariknya.
Saat menoleh untuk melihat tangan siapa itu, alangkah terkejutnya Haji Imron ketika tahu si pemilik tangan yang sudah menolongnya adalah Arif. Lebih kaget lagi, dalam mimpinya itu Arif terlihat mengenakan sarung kotak-kotak yang pernah ia berikan padanya.
Saat terbangun, Haji Imron masih memikirkan terus arti mimpinya tersebut. Siapa sebenarnya Arif, yang karenanya Haji Imron selamat dari jatuh ke jurang api?
Tak tahan dengan pikiran tentang arti mimpinya tersebut, Haji Imron pun berkonsultasi pada seorang kiai sepuh yang terkenal alim, yang juga pernah menjadi guru ngajinya dulu.
Ketika ditanyakan perihal mimpinya tersebut, sang kiai hanya tersenyum. Kemudian dijawabnya arti mimpi itu, "Imron, ketahuilah, mimpi itu sebenarnya peringatan dari Allah kepadamu. Engkau pernah menaruh prasangka negatif pada anak muda bernama Arif tersebut bukan?"
Haji Imron terkejut, tak menyangka kyiai bekas gurunya itu tahu bahwa dia pernah berprasangka negatif pada Arif.
"Hehehe, aku hanya sekedar menafsirkan mimpimu saja," kata kyiai sambil tertawa pelan saat melihat wajah heran Haji Imron.
"Ketahuilah Imron, bahwa anak muda bernama Arif itu, yang selalu kau lihat tak pernah sholat, yang setiap kali kamu berjalan ke masjid dia terlihat hanya bermain gitar dan membaca buku, sesungguhnya dia bahkan lebih hebat darimu. Dia adalah salah satu penghuni tetap masjid.
Engkau tak pernah melihatnya, karena memang si Arif itu sengaja MENYEMBUNYIKAN setiap amal ibadahnya. Engkau mungkin tak melihatnya berangkat ke masjid, karena dia selalu mengambil tempat paling belakang saat sholat berjamaah, tak ingin dilihat jamaah yang lain. Engkau juga mungkin tak melihatnya pulang, karena ia lantas bergegas kembali untuk melengkapi sholatnya dengan sholat sunnah dan berdzikir di rumah.
Tapi engkau Imron, yang selalu terlihat oleh semua orang pergi ke masjid untuk sholat berjamaah, bisa tergelincir hanya oleh satu prasangka negatif terhadap seorang muslim..."
Haji Imron termenung mendengar penjelasan gurunya tadi. Tak disangkanya, si pemuda yang terlihat cuek saat diajak ke masjid itu, ternyata penghuni tetap masjid yang selalu menyembunyikan amal ibadahnya....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H