"Wah, bagus sekali pak Haji. Kainnya lembut, pasti mahal harganya ya. Sarungnya beli di Arab langsung ya pak Haji?" kata Arif memuji. Tubuhnya berputar seperti peragawati yang memperlihatkan busana rancangan desainer ternama.
Tak urung, hati Haji Imron sumringah mendengar pujian Arif, sekalipun tangannya melambai menepis pujian itu.
"Ah, nggak mahal kok. Sama seperti sarung yang ada disini. Ya sudah, saya ke masjid dulu, udah keburu mau iqomat tuh," kata Haji Imron. Kata masjid dan iqomat diucapkannya dengan sedikit tekanan.
"Iya pak Haji. Terima kasih buat sarungnya," timpal Arif sambil mencopot sarung dan melipatnya dengan rapi.
Namun, apa yang diharapkan Haji Imron tak kunjung ia dapatkan. Anak muda itu tak juga ia lihat masuk masjid.
Lama-lama, Haji Imron pun bosan berharap. Pikirnya, pastilah Arif itu anak muda tipe sekarang, yang agamanya hanya sekedar jadi pelengkap isian di KTP saja.
Suatu saat, Haji Imron bermimpi. Dalam mimpinya, dia hampir jatuh ke jurang yang di dalamnya terdapat api berkobar besar. Untung saja, sebelum jatuh, ada sebuah tangan yang keburu menariknya.
Saat menoleh untuk melihat tangan siapa itu, alangkah terkejutnya Haji Imron ketika tahu si pemilik tangan yang sudah menolongnya adalah Arif. Lebih kaget lagi, dalam mimpinya itu Arif terlihat mengenakan sarung kotak-kotak yang pernah ia berikan padanya.
Saat terbangun, Haji Imron masih memikirkan terus arti mimpinya tersebut. Siapa sebenarnya Arif, yang karenanya Haji Imron selamat dari jatuh ke jurang api?
Tak tahan dengan pikiran tentang arti mimpinya tersebut, Haji Imron pun berkonsultasi pada seorang kiai sepuh yang terkenal alim, yang juga pernah menjadi guru ngajinya dulu.
Ketika ditanyakan perihal mimpinya tersebut, sang kiai hanya tersenyum. Kemudian dijawabnya arti mimpi itu, "Imron, ketahuilah, mimpi itu sebenarnya peringatan dari Allah kepadamu. Engkau pernah menaruh prasangka negatif pada anak muda bernama Arif tersebut bukan?"