Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kisah Dihimpunnya Al Quran dalam Satu Mushaf

12 Mei 2020   14:08 Diperbarui: 12 Mei 2020   14:12 1528
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Al Quran dihimpun dalam satu mushaf pada masa Khalifah Usman bin Affan (ilustrasi: unsplash.com/Masjid Pogung Dalangan)

Seandainya Zaid bin Tsabit diminta memindahkan gunung, tugas itu akan ia kerjakan dengan mudah daripada tugas menghimpun Al Quran.

Ketika itu, Umar bin Khattab merasa khawatir dengan banyaknya hafidz atau penghafal Al Quran yang gugur di medan pertempuran Yamamah. Dengan rasa cemas, Umar segera menghadap khalifah Abu Bakar as Shiddiq r.a dan dengan gigih memohon agar para qari dan hafidz lainnya diperintahkan untuk menghimpun Al Quran sebelum mereka keburu gugur atau mati syahid.

Terhadap permintaan Umar dan sahabat lainnya, Abu Bakar tidak langsung mengiyakan. Khalifah pertama ini bersalat istikharah meminta petunjuk kepada Tuhannya. Setelah itu, dipanggilnya para sahabat mulia lainnya dan bermusyawarah.

Dari hasil musyawarah tersebut, diputuskan untuk segera menghimpun Al Quran dari para ahli baca dan ahli hafal Al Quran. Sebagai pemimpin dari tugas yang sangat mulia ini, dipilihlah sahabat Zaid bin Tsabit.

Mengenal Zaid bin Tsabit, Penghimpun Kitab Suci Al Quran

Zaid bin Tsabit adalah seorang Anshar dari Madinah. Usianya baru 11 tahun ketika Rasulullah datang berhijrah ke Madinah. Bersama-sama keluarganya, anak kecil ini ikut masuk Islam.

Di dalam naungan Islam, Zaid tak hanya tumbuh menjadi sosok pejuang, namun juga ilmuwan dengan berbagai macam bakat dan kelebihan. Ia menghafal Al Quran lalu menuliskan wahyu untuk Rasulullah ini. Di kalangan para sahabat Nabi, Zaid dikenal sebagai ulama yang mengepalai peradilan urusan fatwa, qiraat dan pembagian harta waris.

Begitulah, ketika khalifah Abu Bakar as Shiddik memberinya tugas untuk menghimpun Al Quran, Zaid bin Tsabit menganggap tugas ini sangat berat tanggung jawabnya. Zaid lebih suka memikul satu atau beberapa gunung di atas pundaknya, daripada ia sampai terpeleset salah bagaimanapun kecilnya dalam menuliskan ayat atau menyusunnya jadi surat sesuai dengan yang pernah dituntunkan oleh Rasulullah.

Namun, janji Allah menyertai tugas dan tanggungjawab berat yang harus diemban Zaid bin Tsabit. FirmanNya:

"Sesungguhnya Kami yang menurunkan peringatan (Al Quran), dan sesungguhnya Kamilah yang memeliharanya...!" (QS. Al Hijr: 9).

Dengan taufik dan janji Allah tersebut, Zaid bin Tsabit akhirnya berhasil menghimpun ayat-ayat Allah yang tersebar. Dari sejak awal diwahyukan kepada Rasulullah SAW, Al Quran tidak turun sekaligus atau sekali jadi. Karena Al Quran bukan kitab yang dikarang atau artikel yang ditulis.

Amal karya Zaid bin Tsabit pun dinilai bersih oleh kata sepakat para sahabat Rasulullah. Dan, di masa khalifah Abu Bakar as Shiddik inilah, Al Quran bisa terhimpun untuk pertama kalinya.

Timbulnya Perselisihan Karena Perbedaan Dialek Bacaan Al Quran

Namun, masalah lain mulai muncul. Pada penghimpunan pertama ini, ayat-ayat Al Quran ditulis dalam banyak mashaf. Dalam mashaf-mashaf itu ada perbedaan tanda-tanda harakat yang merupakan formalitas belaka.

Perbedaan antar mashaf ini kian meruncing hingga hampir menyebabkan perselisihan antar umat di masa khalifah Usman bin Affan. Apalagi ada kefanatikan diantara umat untuk mengikuti dialek suku daerah masing-masing.

Memang, orang-orang Arab di semenanjung Arabia memiliki dialek yang berbeda-beda. Tetapi bahasa Arab Quraisy yang digunakan dalam Al Quran, telah menyerap sebagian besar dari dialek-dialek tersebut dan menempanya dalam satu bahasa. Bisa dianggap bahasa Quraisy adalah bahasa induk bagi bangsa Arab, sebagaimana bahasa Indonesia bagi bangsa Indonesia.

Usai wafatnya Rasulullah, tidak ada lagi yang mampu menyelesaikan pertikaian perihal bacaan, sebagaimana dulu Rasulullah menjelaskan masalah tersebut. Lambat laun, perbedaan dialek dan cara membaca Al Quran ini menimbulkan perselisihan.  Sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman yang pertama kali menyadari bahaya besar di balik perbedaan cara membaca Al Quran ini ketika menyaksikan pertikaia  antara penduduk Syam dan penduduk Irak.

Penduduk Syam membaca Al Quran dengan mengikuti qiraat Miqdad bin Aswad dan Abu Darda. Sedangkan penduduk Irak mengikuti bacaan Abdullah bin Mas'ud dan Abu Musa al Asy'ari. Kedua golongan ini membela secara fanatik qiraat masing-masing, hingga hampir menimbulkan bentrokan di antara mereka.

Hudzaifah Ibnul Yaman segera menghadap khalifah Usman bin Affan di Madinah. Kepada khalifah, diceritakannya kembali apa yang ia saksikan lalu berkata,

"Wahai Amirul Mukminin, segeralah atasi kemelut umat ini. Sebelum mereka berselisih tentang Kitab Suci mereka sebagaimana halnya umat-umat terdahulu berselisih mengenai Kitab Suci masing-masing."

Al Quran Dihimpun Lagi Dalam Satu Mushaf yang Lengkap

Khalifah Usman bin Affan tak menunggu waktu lama. Dikumpulkannya para sahabat Rasulullah yang ada di Madinah, lalu mereka bermusyawarah. Hasil musyawarah itu adalah keputusan untuk menyalin mushaf dalam satu bahasa, serta menghimpun kaum muslimin sejak masanya hingga masa akhir jaman nanti dalam satu qiraat induk agar perselisihan bisa dihindari.

Musyawarah itu juga menyepakati untuk memanggil kembali sahabat Zaid bin Tsabit agar memimpin proses penghimpunan Al Quran tahap kedua. Pada tugasnya kali ini, Zaid didampingi oleh sahabat Sai'd bin Ash, Abdullah bin Zubeir, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam.

Kepada tim penghimpun ini, khalifah Usman berpesan: Jika mereka ada perselisihan pendapat mengenai mushaf, hendaklah mereka menuliskannya dalam bahasa Quraisy. Setelah itu, khalifah Usman menyerahkan mushaf pertama sebagai pedoman. Mushaf ini sebelumnya disimpan di rumah Hafshah r.a, putri Umar bin Khattab yang juga Ummul Mukminin.

Sekali lagi, Zaid bin Tsabit mengemban tugas dan tanggung jawab yang lebih berat daripada memikul gunung. Tapi sebagaimana janji Allah SWT, Al Quran akan dijaga oleh Allah sendiri hingga akhir jaman. Tugas Zaid dan para sahabat lainnya sebatas menghimpun kembali, menjadikannya dalam satu mushaf yang kelak akan mempersatukan umat Islam.

Setelah para sahabat selesai melaksanakan tugas mulia ini, khalifah Usman bin Affan memerintahkan untuk menyalinnya ke dalam beberapa buah naskah. Khalifah Usman lalu mengirim salinan naskah-naskah ini ke beberapa wilayah, dan memerintahkan para penulis di setiap wilayah untuk menyalinnya kembali. Dengan begitu, mushaf yang lengkap yang dinamakan Mushaf Usmani bisa tersebar ke seluruh pelosok wilayah pemerintahan umat Islam saat itu.

Lantas, apa yang terjadi dengan mushaf-mushaf lainnya?

Semua mushaf lain dikumpulkan, lalu Khalifah pun menyudahi tugas mereka. Ini satu-satunya jalan untuk memberi kesempatan dan melapangkan jalan bagi mushaf yang satu dan lengkap, di mana kaum muslimin akan bertemu sekeliling ayat-ayat itu. Yang penuh berkah sepanjang kurun waktu, abad demi abad.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun