Amal karya Zaid bin Tsabit pun dinilai bersih oleh kata sepakat para sahabat Rasulullah. Dan, di masa khalifah Abu Bakar as Shiddik inilah, Al Quran bisa terhimpun untuk pertama kalinya.
Timbulnya Perselisihan Karena Perbedaan Dialek Bacaan Al Quran
Namun, masalah lain mulai muncul. Pada penghimpunan pertama ini, ayat-ayat Al Quran ditulis dalam banyak mashaf. Dalam mashaf-mashaf itu ada perbedaan tanda-tanda harakat yang merupakan formalitas belaka.
Perbedaan antar mashaf ini kian meruncing hingga hampir menyebabkan perselisihan antar umat di masa khalifah Usman bin Affan. Apalagi ada kefanatikan diantara umat untuk mengikuti dialek suku daerah masing-masing.
Memang, orang-orang Arab di semenanjung Arabia memiliki dialek yang berbeda-beda. Tetapi bahasa Arab Quraisy yang digunakan dalam Al Quran, telah menyerap sebagian besar dari dialek-dialek tersebut dan menempanya dalam satu bahasa. Bisa dianggap bahasa Quraisy adalah bahasa induk bagi bangsa Arab, sebagaimana bahasa Indonesia bagi bangsa Indonesia.
Usai wafatnya Rasulullah, tidak ada lagi yang mampu menyelesaikan pertikaian perihal bacaan, sebagaimana dulu Rasulullah menjelaskan masalah tersebut. Lambat laun, perbedaan dialek dan cara membaca Al Quran ini menimbulkan perselisihan.  Sahabat Hudzaifah Ibnul Yaman yang pertama kali menyadari bahaya besar di balik perbedaan cara membaca Al Quran ini ketika menyaksikan pertikaia  antara penduduk Syam dan penduduk Irak.
Penduduk Syam membaca Al Quran dengan mengikuti qiraat Miqdad bin Aswad dan Abu Darda. Sedangkan penduduk Irak mengikuti bacaan Abdullah bin Mas'ud dan Abu Musa al Asy'ari. Kedua golongan ini membela secara fanatik qiraat masing-masing, hingga hampir menimbulkan bentrokan di antara mereka.
Hudzaifah Ibnul Yaman segera menghadap khalifah Usman bin Affan di Madinah. Kepada khalifah, diceritakannya kembali apa yang ia saksikan lalu berkata,
"Wahai Amirul Mukminin, segeralah atasi kemelut umat ini. Sebelum mereka berselisih tentang Kitab Suci mereka sebagaimana halnya umat-umat terdahulu berselisih mengenai Kitab Suci masing-masing."
Al Quran Dihimpun Lagi Dalam Satu Mushaf yang Lengkap
Khalifah Usman bin Affan tak menunggu waktu lama. Dikumpulkannya para sahabat Rasulullah yang ada di Madinah, lalu mereka bermusyawarah. Hasil musyawarah itu adalah keputusan untuk menyalin mushaf dalam satu bahasa, serta menghimpun kaum muslimin sejak masanya hingga masa akhir jaman nanti dalam satu qiraat induk agar perselisihan bisa dihindari.
Musyawarah itu juga menyepakati untuk memanggil kembali sahabat Zaid bin Tsabit agar memimpin proses penghimpunan Al Quran tahap kedua. Pada tugasnya kali ini, Zaid didampingi oleh sahabat Sai'd bin Ash, Abdullah bin Zubeir, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam.
Kepada tim penghimpun ini, khalifah Usman berpesan: Jika mereka ada perselisihan pendapat mengenai mushaf, hendaklah mereka menuliskannya dalam bahasa Quraisy. Setelah itu, khalifah Usman menyerahkan mushaf pertama sebagai pedoman. Mushaf ini sebelumnya disimpan di rumah Hafshah r.a, putri Umar bin Khattab yang juga Ummul Mukminin.