Suasana Pandemi Inilah yang Kita Harapkan
Kalau dipikir lagi, suasana saat pandemi inilah yang pernah kita harapkan.
Masih ingat nggak saat mengawali tahun 2020 kemarin, kita berharap ada banyak tanggal merah di kalender agar kita banyak liburan? Benar kan?
Mengawali tahun 2020 kemarin, juga tercetus banyak keinginan untuk bekerja dari rumah saja.
"Ngapain kerja di kantor. Sekarang jamannya digital. Rapat bisa teleconference, kerja bisa dari rumah saja."
Saat presiden Jokowi hendak memilih menteri dan membentuk kabinet, banyak yang berharap menteri pendidikan berjiwa milenial  supaya  "Nanti belajarnya secara on line", "Biar bisa garap tugas online", "laporan gak usah repot ke sekolah, cukup pakai go send".
Masih ingat pula saat kita berangkat kerja, kena macet di jalan terus kita ngomel-ngomel, "Ada gak sih pemimpin yang pintar dan bisa mengatasi kemacetan lalulintas?
Dan sekarang apa yang terjadi?
Ketika Allah Mengabulkan Harapan Kita, Mengapa Kita Masih Mengeluh?
Allah mengabulkan harapan kita, meskipun mungkin saat itu kita mengharapkannya dengan nada bercanda. Maka, nikmat Allah mana lagi yang hendak kita dustakan?
Lalu, mengapa kita masih mengeluh?
Mengapa kita merasa bosan dengan suasana yang justru pernah kita harapkan?
Sebelum pandemi, kita memiliki rutinitas harian yang selalu terulang. Bangun tidur, bersiap-siap, pergi bekerja, makan siang, pulang kerja, makan malam, bersantai, tidur, dan melakukannya lagi keesokan harinya dalam urutan yang sama.
Inilah kotak pengalaman harian kita. Inilah ruang yang kita tempati di mana kita menjalani hidup. Inilah sesuatu yang kita anggap "normal" dalam konteks pengalaman sehari-hari.
Kemudian, ada celah dalam kotak pengalaman harian kita. Berkat celah itu, kita bisa melihat keluar kotak, dan terpampanglah di depan mata kita bentuk kehidupan yang ajaib, yang membuat kita heran, yang membuat kita iri dan ingin meraihnya.
Lalu kita ingin liburan. Kita ingin pindah kerja karena pekerjaan saat ini terasa sangat membosankan. Kita muak dengan kemacetan lalu lintas, omelan atasan, target penjualan, atau bosan harus mengantar anak pergi pulang ke sekolah mereka. Maka, tercetuslah harapan-harapan dan impian, sekalipun dalam hati kita niatkan hanya bercanda.
Tak dinyana, dengan kuasa-Nya virus corona membuat harapan kita terkabulkan. Kita sekarang bisa kerja dari rumah, terhindar dari kemacetan lalu lintas. Anak-anak pun tak perlu diantar pergi pulang ke sekolah. Bahkan tahun ini mereka bisa lulus tanpa harus ikut ujian nasional.
Maka, nikmat Allah mana lagi yang kita dustakan?
Salahkah Jika Saya Mensyukuri Nikmatnya Suasana Saat Pandemi?
Apa yang harus kita keluhkan, sementara Allah menjawab dan mengabulkan harapan kita? Alih-alih mengeluh, bahkan tak sedikit yang berburuk sangka kepada Allah, harusnya kita mensyukuri suasana saat pandemi. Di luar ketidaknormalan hidup yang harus kita jalani, ada banyak nikmat yang patut kita syukuri.
Alhamdulillah sekarang bisa bekerja dari rumah. Syukur ya Allah anak-anak bisa mengerjakan tugas-tugasnya secara online. Terima kasih ya Tuhan, Engkau kabulkan harapan kami, lalu lintas sekarang lancar, tidak macet lagi.
Bukankah seharusnya begitu?
Saya sendiri bersyukur, Ramadan tahun ini tidak ada bunyi petasan. Bersyukur Ramadan tahun ini mata saya dan anak-anak tidak kelaparan karena godaan pasar takjil yang ramai di mana-mana. Bersyukur Ramadan kali ini bisa menjadi imam shalat tarawih di rumah bersama keluarga.
Kurangnya rasa syukur atas segala nikmat yang sudah diberikan Allah pada kita bisa membuat diri kita cepat bosan dan ujung-ujungnya merasa stress atau menyalahkan keadaan.
Bukannya saya tak mau berempati terhadap orang lain yang menderita karena virus corona. Empati kepada dokter, perawat dan tenaga medis lain yang rela berkorban nyawa demi menyelamatkan pasien yang terpapar virus corona.
Bukan pula saya tak berempati kepada mereka yang terkena PHK, para perantau yang tak bisa mudik, ojek online yang tergerus penghasilannya, orangtua yang memikirkan SPP anaknya padahal sekolah cuma dari rumah saja.
Bersyukur, Kunci Menghadapi Kesulitan Saat Pandemi
Tidak seperti itu. Saya hanya mensyukuri suasana pandemi yang sesuai dengan apa yang dulu pernah saya harapkan. Ibaratnya, saya hanya mengambil waktu sejenak untuk berhenti dari lelahnya pendakian hidup dan menghargai pemandangan yang menakjubkan. Inilah bentuk rasa syukur itu.
Sebagai manusia beriman kita harus yakin bahwa pandemi ini tak akan bisa terjadi tanpa adanya ijin Allah. Kita harus yakin bahwa ini ketetapan Allah yang sudah pasti dan kita harus meyakininya. Sedangkan apapun yang merupakan ketetapan Allah bagi manusia yang beriman tentu ini adalah yang "terbaik" bagi umat-Nya meski kelihatannya bagi kita sebagai manusia merupakan keburukan.
Di dalam hidup ini kita harus mengerti bahwa bukan KEBAHAGIAAN yang membuat kita BERSYUKUR. Namun rasa SYUKURLAH yang akan membuat kita BAHAGIA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H