Karena itu, Pak Mudin memberi pesan bahwa para pelayat harus tetap mematuhi protokol kesehatan yang sudah ditetapkan pemerintah: Jaga jarak dan cuci tangan minimal 20 detik saat pulang ke rumah masing-masing.
Pukul 12 malam, mobil jenazah diberangkatkan. Tak ada sirine, karena jalanan sepi seperti suasana pemakaman itu sendiri. Di belakangnya, kami mengiringi dengan berkendara sepeda motor.
Di area pemakaman kampung, mobil jenazah berhenti hingga batas terakhir. Empat orang kemudian menandu keranda, menuju liang lahat yang sudah digali. Sinar lampu di kejauhan menjadi penanda tempat peristirahatan terakhir almarhum.
Diiringi desahan angin yang menggesek dedaunan, jenazah diturunkan. Doa-doa pun kami lantunkan di kesunyian malam. Selesai sudah ritual pemakaman yang baru kali ini kualami sangat berbeda dengan biasanya.
Aku pikir, benar kata banyak orang, bahwa ketakutan akan pandemi Covid-19 melebihi daya bunuhnya. Beberapa pasien positif Covid-19 yang meninggal dunia ditolak pemakamannya oleh warga setempat. Padahal, badan yang sudah dikubur dalam tanah tak bisa menularkan virus penyakit. Sungguh, ketakutan mereka sangat tidak beralasan.
Akan sama halnya dengan pemakaman yang baru kuikuti ini, almarhum tidak meninggal dunia karena corona. Namun, demi keamanan, dan demi mencegah penyebaran virus corona, dengan sangat terpaksa almarhum dimakamkan pukul 12 malam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H