"Mas, Pak Nandhir meninggal dunia."Â
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun," kataku spontan mendengar kabar yang disampaikan om Gaguk, tetangga satu gang usai sholat Isya' kemarin.Â
"Meninggalnya kenapa Om?" tanyaku.
"Gak tahu Mas. Kata keluarganya sih sudah lama komplikasi. Tadi gak sempat dibawa ke rumah sakit, meninggal di rumahnya."
"Om Gaguk mau melayat?"
"Tadi sudah ke sana Mas, ini diminta tolong mengurus pemakamannya. Insyaallah besok pagi dimakamkan di pemakaman kampung kita."
"Baik Om, insyaallah sebentar saya melayat kesana," kataku mengakhiri percakapan kami.
Pak Nandhir, penjual buah di komplek perumahanku baru saja kehilangan putranya. Sekarang, dia yang menyusul dipanggil Sang Pencipta.
Malam itu, kusempatkan melayat ke rumah duka yang terletak di tepi jalan raya. Sepi, tidak banyak tetangga yang melayat. Tak kulihat tetangga-tetangga dekat yang kukenal.
Memang, pandemi Covid-19 secara luar biasa merubah adat hingga ritual keagamaan. Biasanya, ramai orang melayat tetangganya yang meninggal dunia, tak peduli hari sudah malam.
Tapi, yang kusaksikan saat itu benar-benar menyayat hati. Hanya ada segelintir orang yang peduli, yang karena tuntutan syariat Islam, diwajibkan fardhu kifayah mengurus jenazah seorang muslim yang meninggal.