Ingatanku melayang ke dimensi waktu belasan tahun silam, di sebuah desa tempat kakek dan nenekku tinggal. Di sana, kakek-kakek tua dalam balutan plastik seadanya sebagai pelindung dari hujan yang menyerupai badai, tetap tekun mengayuh cangkul untuk menggemburkan sawah sebagai persiapan untuk dimulainya bercocok tanam.
Di hari berbeda, di bawah naungan caping lusuh, ibu-ibu tua membungkuk menanam padi sepanjang hari. Di saat matahari teramat terik hingga menyisakan gosong di wajah mereka.
Butuh waktu lebih dari empat bulan untuk mengumpulkan kesabaran menunggu padi dipanen. Banyak tenaga, keringat, bahkan airmata perjuangan selama masa tunggu itu.
Menyiangi padi, membuang gulma, mengaliri sawah dengan air. Memberikan pupuk, menjaganya dari burung, tikus atau hama lainnya. Perjuangan mereka bertambah berat di musim kemaru. Tidak mudah untuk mengalirkan air dari sungai dengan debit air yang menyusut ke sawah-sawah.
Saat panen, tidak serta merta nasi sudah siap terhidang di meja. Para petani dan buruh tani masih harus mengangkut padi, berjalan terseok di pematang sawah yang licin. Sampai di rumah atau lumbung penyimpanan, mereka kemudian menjemur padi-padi tersebut. Selang beberapa hari atau minggu tergantung teriknya sinar mentari, mereka mengangkutnya ke tempat penggilingan padi, baru kemudian berubah menjadi beras.
Dari masa menyemai benih hingga mengangkut ke tempat penggilingan padi, butuh waktu sekitar lima bulan bahkan lebih untuk mewujudkan bulir-bulir beras itu sampai ke tangan kita. Dan selama itu pula, para petani dan buruh tani tidak mempedulikan dinginnya air hujan atau teriknya matahari yang memanggang.
Lalu, tiba-tiba tanpa rasa empati apapun banyak orang seperti Vin ini dengan entengnya membuang-buang makanan mereka begitu saja. Seolah dengan satu jentikan jari mereka bisa mendatangkan makanan apa saja dan kapan saja.
Di acara pesta, di acara tahlilan atau syukuran, aku sering melihat orang-orang tanpa pertimbangan dan alasan apapun menyisakan banyak makanan di piring. Malah aku pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ada orang membuang begitu saja nasi bungkus yang ia terima dari takmir masjid di hari Jumat, saat banyak dermawan memberi sedekah makanan.
"Alah, biarin saja. Toh itu makanan dari uang mereka sendiri. Kok malah kamu yang ribut?"
Oh iya, itu memang uang mereka sendiri. Tapi aku tidak membicarakan uang mereka. Aku bicara tentang sumber daya yang jadi milik kita bersama.
Tahukah kamu, dengan populasi umat manusia yang terus meledak, sumber daya kita sedikit sekali yang bisa terbarukan. Ketika manusia semakin banyak, rumah dan gedung dibangun hingga menyita lahan pertanian. Tanah untuk bercocok tanam sudah semakin sedikit.Â