"Yuk ah, entar keburu telat loh," kata seorang wanita.
"Makanmu dikit amat sih Vin, lebih banyak sisanya. Kamu lagi gak sakit kan?" kata seorang wanita lagi.
Aku melirik meja sebelah. Sebuah piring dengan sebongkah nasi tersisa, serta semangkuk sayur yang kulihat hanya dicicipi saja berada di depan wanita muda. Aku membayangkan nasi, sayur dan sisa lauk itu dalam hitungan menit akan menjadi penghuni tong sampah. Â
"Nggak, aku gak sakit kok. Cuma gak nafsu makan aja." jawab wanita yang dipanggil Vin itu. Wajahnya menunduk, jari-jari tangannya lincah menari di layar ponsel.
"Lha, kalau gak nafsu makan ngapain kamu pesan makanan segini banyaknya?" tanya temannya.
"Mau gimana lagi Ca, nasi satu atau setengah harganya sama aja. Sayurnya juga udah sepaket kan semuanya?" jawab si Vin.
Duh, pingin rasanya ikut nimbrung di percakapan mereka.
"Mbak, kalo udah tau nggak nafsu makan dan nggak bakal habis, ngapain pesen nasinya satu porsi? Kenapa nggak setengah aja? Ooo... karena harganya baik satu maupun setengah porsi sama aja? Terus kalau kamu nggak suka sayur, kenapa nggak minta tanpa sayur aja? Sekali lagi, hanya karena pake sayur nggak pake sayur, harganya sama aja?? Terus akhirnya menurutmu tak mengapa nasi dan sayur-sayur itu dibuang?
Sedih dan miris rasanya melihat makanan-makanan itu harus terbuang sia-sia. Aku memang paling gak suka melihat ada orang yang membuang-buang makanan. Menyisakan banyak makanan di piringnya, atau pesan makanan berlebih, untuk kemudian mereka buang di tong sampah.
Mereka seperti orang yang tak tahu terima kasih. Tak menghargai jerih payah para petani, peternak, nelayan, dan orang-orang lainnya yang bekerja keras demi memuaskan ego dan rasa lapar mereka.
Ingatanku melayang ke dimensi waktu belasan tahun silam, di sebuah desa tempat kakek dan nenekku tinggal. Di sana, kakek-kakek tua dalam balutan plastik seadanya sebagai pelindung dari hujan yang menyerupai badai, tetap tekun mengayuh cangkul untuk menggemburkan sawah sebagai persiapan untuk dimulainya bercocok tanam.
Di hari berbeda, di bawah naungan caping lusuh, ibu-ibu tua membungkuk menanam padi sepanjang hari. Di saat matahari teramat terik hingga menyisakan gosong di wajah mereka.
Butuh waktu lebih dari empat bulan untuk mengumpulkan kesabaran menunggu padi dipanen. Banyak tenaga, keringat, bahkan airmata perjuangan selama masa tunggu itu.
Menyiangi padi, membuang gulma, mengaliri sawah dengan air. Memberikan pupuk, menjaganya dari burung, tikus atau hama lainnya. Perjuangan mereka bertambah berat di musim kemaru. Tidak mudah untuk mengalirkan air dari sungai dengan debit air yang menyusut ke sawah-sawah.
Saat panen, tidak serta merta nasi sudah siap terhidang di meja. Para petani dan buruh tani masih harus mengangkut padi, berjalan terseok di pematang sawah yang licin. Sampai di rumah atau lumbung penyimpanan, mereka kemudian menjemur padi-padi tersebut. Selang beberapa hari atau minggu tergantung teriknya sinar mentari, mereka mengangkutnya ke tempat penggilingan padi, baru kemudian berubah menjadi beras.
Dari masa menyemai benih hingga mengangkut ke tempat penggilingan padi, butuh waktu sekitar lima bulan bahkan lebih untuk mewujudkan bulir-bulir beras itu sampai ke tangan kita. Dan selama itu pula, para petani dan buruh tani tidak mempedulikan dinginnya air hujan atau teriknya matahari yang memanggang.
Lalu, tiba-tiba tanpa rasa empati apapun banyak orang seperti Vin ini dengan entengnya membuang-buang makanan mereka begitu saja. Seolah dengan satu jentikan jari mereka bisa mendatangkan makanan apa saja dan kapan saja.
Di acara pesta, di acara tahlilan atau syukuran, aku sering melihat orang-orang tanpa pertimbangan dan alasan apapun menyisakan banyak makanan di piring. Malah aku pernah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, ada orang membuang begitu saja nasi bungkus yang ia terima dari takmir masjid di hari Jumat, saat banyak dermawan memberi sedekah makanan.
"Alah, biarin saja. Toh itu makanan dari uang mereka sendiri. Kok malah kamu yang ribut?"
Oh iya, itu memang uang mereka sendiri. Tapi aku tidak membicarakan uang mereka. Aku bicara tentang sumber daya yang jadi milik kita bersama.
Tahukah kamu, dengan populasi umat manusia yang terus meledak, sumber daya kita sedikit sekali yang bisa terbarukan. Ketika manusia semakin banyak, rumah dan gedung dibangun hingga menyita lahan pertanian. Tanah untuk bercocok tanam sudah semakin sedikit.Â
Ini sudah diramalkan Thomas Robert Malthus pada 1798 di bukunya An Essay on the Principle of Population. Bahwa pertumbuhan populasi itu cenderung melampaui pertumbuhan persediaan makanan.Â
Seandainya kelak datang suatu masa, ketika kamu punya bermilyar-milyar uang sampai kamu bisa berenang di dalam uang, tapi tak ada makanan yang bisa kamu beli. Maukah kamu mengunyah uangmu?
Makanan itu untuk dimakan, bukan dibuang. Sekali kamu mencolek makanan, maka datang kewajiban padamu untuk menghabiskan makananmu. Aku percaya, kelak makanan itu menuntut tanggung jawab kita.
Pesanlah makanan sesuai ukuran porsimu. Kalau tidak habis, tidak usah malu membungkusnya untuk dimakan lagi nanti. Seandainya masih merasa kenyang, jangan segan menolak tawaran makan dari orang lain. Jangan buang sedekah makanan, tapi berikanlah pada mereka yang membutuhkan.
Mintalah anggota keluarga agar jangan memasak makanan yang berlebihan. Seandainya sudah terlanjur, jangan biarkan menjadi basi. Jika ada yang enggan memakannya, hadiahkanlah kepada orang lain karena masih banyak mulut yang menanti.
Ingat, menurut FAO masih ada 820 juta orang di dunia yang tidak tahu apa yang harus mereka makan hari ini. Jutaan perut kelaparan di luar sana, maka pilihanmu membuang makanan sama dengan menggoreskan luka dihati mereka. Bijaksanalah memperlakukan makanan, sekalipun uangmu berlimpah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H