Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Belajar Menghindari "Trial by the Press" dari Kasus Reynhard Sinaga

8 Januari 2020   12:00 Diperbarui: 9 Januari 2020   05:28 1663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meskipun kasus Reynhard Sinaga terungkap sejak 2 Juni 2017, pemberitaan mengenai kasus ini baru meledak di tahun 2020. Tepat setelah hakim Suzanne Goddard menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup di sidang pengadilan Manchester Crown Court, Senin (6/1).

Dikutip dari BBC, sidang di Manchester Crown Court pada bulan Desember 2019 adalah sidang tahap empat atas 13 korban dengan 30 dakwaan perkosaan dan dua serangan seksual.

Sidang tahap pertama dimulai pada tanggal 1 Juni sampai 10 Juli 2018 dengan 13 korban, tahap kedua pada 1 April sampai 7 Mei 2019 dengan 12 korban, dan tahap ketiga pada 16 September sampai 4 Oktober 2019 dengan 10 korban.

Total terdapat 159 dakwaan atas 48 korban pria. Sebagian korban diperkosa berkali-kali.

Mengapa Kasus Reynhard Sinaga Baru Diberitakan?

Banyak yang bertanya-tanya mengapa kasus ini baru diberitakan saat ini, padahal Reynhard Sinaga sendiri sudah menjalani persidangan sejak 1 Juni 2018. Apakah media tidak mencium kasus ini dan tidak memberitakannya?

Jika dirunut sejak Reynhard ditangkap hingga sidang tahap pertama pada 1 Juni 2018, tidak ada media Indonesia yang memberitakan kasus ini. Padahal, sejak 5 Juni 2017, Reynhard Sinaga sudah didampingi KBRI London.

Gulfan Afero, koordinator Fungsi Protokol dan Konsuler KBRI London, mengatakan pihaknya pertama dikontak polisi Manchester pada 5 Juni 2017 setelah Reynhard dikenai dakwaan.

Pihaknya kemudian mendapatkan izin untuk bertemu dengan Reynhard di penjara satu minggu kemudian.

Gulfan mengatakan pihak KBRI selanjutnya mengikuti proses pra-pengadilan bersama orang tua Reynhard, serta proses sidang selanjutnya sampai pengadilan tahap empat pada pertengahan Desember 2019.

Secara logika, jika KBRI sudah mendampingi, kemudian kasus ini juga sudah menjalani persidangan hingga 4 tahap, media semestinya bisa mengetahuinya. Namun dalam jejak digital di internet, semua pemberitaan mengenai Reynhard Sinaga baru dimulai per tanggal 6 Januari 2020.

Adanya Pembatasan Pelaporan Hukum di Kasus-Kasus Tertentu

Satu-satunya alasan mengapa media di Inggris tidak memberitakan kasus ini sejak awal adalah karena adanya pembatasan pelaporan hukum tentang kasus pengadilan. Ini berarti informasi tertentu yang didengar di pengadilan tidak dapat dilaporkan.

Pembatasan ini bisa bersifat otomatis berdasarkan hukum atau karena hakim kasus tersebut memilih untuk membuat batasan. Pembatasan otomatis biasanya terkait dengan kasus-kasus pelanggaran seksual atau kasus pengadilan anak-anak atau remaja.

Pembatasan pemberitaan pengadilan dari media sangat penting mengingat pers bisa membentuk opini publik. 

Dengan memberitakannya, pers telah memiliki pendapat hukum atau sekurang-kurangnya mendorong publik berpendapat mengenai suatu perkara yang belum diputus pihak yang berwenang (pengadilan atau di luar pengadilan). Inilah yang disebut Trial by the Press.

Cara-cara pemberitaan atau penyampaian opini semacam ini tidak hanya melanggar asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), melainkan juga merupakan suatu bentuk menghambat proses peradilan yang adil, fair, dan imparsial (obstruction of justice), bahkan merupakan pelecehan terhadap tatanan peradilan (contempt of court).

Segala bentuk yang dapat digolongkan sebagai trial by the press, obstruction of justice, atau contempt of court, dengan maksud mempengaruhi hakim, merupakan pelanggaran terhadap asas menjamin independensi hakim, peradilan yang fair, imparsial untuk memutus suatu perkara secara benar, tepat, dan adil.

Itu sebabnya, sekalipun pengadilan di Inggris sudah menganut konsep keadilan terbuka (open justice), ada kalanya hakim dan pengadilan berhak memutuskan suatu peradilan tertentu dilaksanakan secara tertutup, kasus per kasus.

Itu juga yang menjadi sebab satu-satunya dokumentasi jalannya persidangan Reynhard Sinaga hanya berupa gambar sketsa. Di luar itu, media benar-benar dibuat buta oleh informasi persidangan sampai ketika palu hakim Suzanne Goddard diketuk.

Pers Indonesia Harus Belajar Menghargai Proses Peradilan yang Fair

Pentingnya menjaga independensi hakim dan peradilan yang fair tidak kita dapati seandainya kasus Reynhard Sinaga disidangkan di Indonesia. 

Kita tentu masih ingat bagaimana sidang kasus kopi sianida Jessica mendapat pemberitaan yang begitu dahsyat.

Bahkan ada stasiun televisi yang menyiarkan secara langsung jalannya sidang, sampai dari pertama hingga sidang keputusan. 

Tak hanya itu, segala macam seluk beluk kehidupan terdakwa dan korban yang malah tidak ada hubungannya dengan kasus tersebut juga ikut diberitakan.

Indonesia memang tidak memiliki Undang-Undang Contempt of Court yang dapat menjadi dasar meniadakan pelecehan atau mencampuri kebebasan hakim (Bagir Manan, Contempt of Court, 2014).

Satu-satunya cara untuk membatasi kebebasan pers dari kemungkinan trial by the press dan contempt of court adalah kepatuhan pers pada UU Pers, Kode Etik Jurnalistik. 

Selain itu, pers juga harus melihat kembali tradisi pers sebagai kaidah atau asas yang semata-mata bersifat self discipline sebagai suatu tuntunan moral pers yang bermartabat, terhormat dan bertanggung jawab.

Pers Indonesia seharusnya mulai belajar untuk menghargai proses peradilan agar bisa berjalan dengan adil tanpa terpengaruh opini publik yang terbentuk oleh pemberitaan mereka. 

Mengutip arti dan prinsip kebebasan dari John Locke (Two Treatises of Civil Government), kebebasan pers untuk memberitakan sesuatu dibatasi kewajiban menghormati kebebasan hakim sebagai cara melindungi pencari keadilan untuk memperoleh putusan yang tepat, benar, dan adil.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun