Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Belajar Menghindari "Trial by the Press" dari Kasus Reynhard Sinaga

8 Januari 2020   12:00 Diperbarui: 9 Januari 2020   05:28 1663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembatasan ini bisa bersifat otomatis berdasarkan hukum atau karena hakim kasus tersebut memilih untuk membuat batasan. Pembatasan otomatis biasanya terkait dengan kasus-kasus pelanggaran seksual atau kasus pengadilan anak-anak atau remaja.

Pembatasan pemberitaan pengadilan dari media sangat penting mengingat pers bisa membentuk opini publik. 

Dengan memberitakannya, pers telah memiliki pendapat hukum atau sekurang-kurangnya mendorong publik berpendapat mengenai suatu perkara yang belum diputus pihak yang berwenang (pengadilan atau di luar pengadilan). Inilah yang disebut Trial by the Press.

Cara-cara pemberitaan atau penyampaian opini semacam ini tidak hanya melanggar asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), melainkan juga merupakan suatu bentuk menghambat proses peradilan yang adil, fair, dan imparsial (obstruction of justice), bahkan merupakan pelecehan terhadap tatanan peradilan (contempt of court).

Segala bentuk yang dapat digolongkan sebagai trial by the press, obstruction of justice, atau contempt of court, dengan maksud mempengaruhi hakim, merupakan pelanggaran terhadap asas menjamin independensi hakim, peradilan yang fair, imparsial untuk memutus suatu perkara secara benar, tepat, dan adil.

Itu sebabnya, sekalipun pengadilan di Inggris sudah menganut konsep keadilan terbuka (open justice), ada kalanya hakim dan pengadilan berhak memutuskan suatu peradilan tertentu dilaksanakan secara tertutup, kasus per kasus.

Itu juga yang menjadi sebab satu-satunya dokumentasi jalannya persidangan Reynhard Sinaga hanya berupa gambar sketsa. Di luar itu, media benar-benar dibuat buta oleh informasi persidangan sampai ketika palu hakim Suzanne Goddard diketuk.

Pers Indonesia Harus Belajar Menghargai Proses Peradilan yang Fair

Pentingnya menjaga independensi hakim dan peradilan yang fair tidak kita dapati seandainya kasus Reynhard Sinaga disidangkan di Indonesia. 

Kita tentu masih ingat bagaimana sidang kasus kopi sianida Jessica mendapat pemberitaan yang begitu dahsyat.

Bahkan ada stasiun televisi yang menyiarkan secara langsung jalannya sidang, sampai dari pertama hingga sidang keputusan. 

Tak hanya itu, segala macam seluk beluk kehidupan terdakwa dan korban yang malah tidak ada hubungannya dengan kasus tersebut juga ikut diberitakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun