Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Kopi yang Mengubah Wajah Malang

6 Januari 2020   08:47 Diperbarui: 8 Januari 2020   15:06 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagaimana sejarah masuknya kopi di Indonesia, menelusuri jejak sejarah kopi di Malang tak lepas dari sejarah perkebunan. Tidak ada catatan pasti mulai kapan tanaman kopi masuk ke wilayah Malang.

Diperkirakan tidak lama semenjak kultivar kopi dari Batavia menuai sukses dan kemudian disebar ke wilayah koloni Belanda lainnya. Catatan sejarah menunjukkan perkebunan kopi mulai marak  ditanam di Malang pada era Cultuurstelsel (Tanam Paksa) yang kebijakannya dikeluarkan oleh gubernur jenderal Van Den Bosch. Tepatnya sejak tahun 1832 ketika pemerintah kolonial memulai pembukaan lahan di kawasan Kabupaten Malang untuk penanaman lahan perkebunan kopi.[1]

Dari Daerah Militer Menjadi Perkebunan Kopi

Sebelumnya, wilayah Malang bukanlah wilayah perkebunan atau dikatakan wilayah yang mempunyai kepentingan ekonomi bagi Belanda. Secara geografis, daerah Malang boleh dikatakan penuh dengan hambatan alam karena dikelilingi dua pegunungan, yakni pegunungan Arjuna-Panderman-Kawi di sebelah barat dan Bromo-Semeru di sebelah timur.

Sisi positifnya tanah di wilayah Malang subur karena kaya akan abu vulkanik dan sumber air. Tak heran jika di akhir abad ke-19 banyak terdapat onderneming atau perkebunan. Sebelum tanaman kopi masuk, perkebunan di Malang ditanami tebu dan tembakau.

Di sisi lain, bentang alam di Malang membuat daerah ini sedikit terisolasi dan perkembangan daerahnya menjadi agak terlambat. Dari segi militer, kondisi ini terbilang menguntungkan karena bisa dijadikan benteng alam. Pada pertengahan awal abad XVIII, kawasan ini menjadi basis perlawanan terhadap aliansi Kumpeni-Mataram.[2]

Namun, semenjak kopi ditanam di Malang, wajah wilayah ini perlahan mulai berubah. Pemerintah kolonial Belanda pun mulai menaruh perhatian dan menjadikan Malang sebagai basis perkebunan kopi sekaligus sasaran eksploitasi.

Perubahan ini dimulai dari kebijakan Ordonansi Priangan yang dikeluarkan oleh gubernur jenderal H.W. Daendels di tahun 1808. Ketika itu, Daendels mengeluarkan peraturan berisi kewajiban penanaman kopi di daerah lain di Jawa dan dilakukan dengan cara yang sama seperti di Kabupatenan Priangan.[3]

Ordonansi Priangan kemudian dilanjutkan dengan kebijakan dari Gubernur Jenderal Du Bus Gesignes (1826-1829) yang mengeluarkan perintah mengubah semua tanah-tanah yang belum digarap, termasuk sebagian tanah di daerah hutan, untuk dijadikan sebagai lahan produktif. Kawasan perkebunan kopi berpusat di daerah Penanggungan, Karanglo, Sengguruh,  Turen dan Ngantang. Selama 1 tahun yaitu pada 1901 penduduk di kawasan ini mampu menyetor 3831 pikul kopi.[4]

Dampak dari kebijakan ini merambah sampai ke wilayah Karesidenan Pasuruan. Ini diperkuat oleh catatan dari Residen Pasuruan yang mengatakan bahwa antara tahun 1827 hingga 1830 penduduk Kabupaten Malang - yang hanya sejumlah 40.000 jiwa dapat menghasilkan 57.000 pikul kopi.[5] 

Dibangunnya Jaringan Transportasi Kereta Api di Malang

Salah satu dampak terpenting dari aktivitas perkebunan adalah perluasan jaringan transportasi. Sebagai sebuah aktivitas ekonomi yang berorientasi pasar inter-nasional, perusahaan perkebunan menuntut kemudahan transportasi untuk menghin-darkan terjadinya penyusutan kualitas dari produk yang dibawa. Beberapa titik produksi terletak di pedalaman sehingga menuntut adanya penghubung antara pusat produksi dengan daerah pengumpul.

Besarnya produksi kopi di Afdeeling Malang saat itu membuat pemerintah kolonial Belanda mulai membangun berbagai sarana transportasi dan praktis pada akhirnya mengubah wajah kota Malang. Hal ini karena para penanam kopi itu membutuhkan waktu cukup lama untuk mengangkut kopi dari daerah pedalaman ke onderdistrik kota.

Di onderdistrik kota, biji-biji kopi yang telah disangrai (goreng tanpa pasir) dikumpulkan di gudang-gudang sebelum dikirim ke pelabuhan Surabaya. Proses itu membutuhkan waktu berhari-hari sehingga mereka untuk sementara harus tinggal di onderdistrik kota Malang. Faktor inilah yang menyebabkan terbukanya sektor-sektor yang melayani kepentingan pada petani kopi tersebut.[6]

Salah satu perubahan penting dari kota Malang adalah dibukanya sarana transportasi kereta api dan tram. Pada masa  kepemimpinan Bupati Notodiningrat II, pemerintah kolonial membuka jalur kereta api Malang-Surabaya pada tahun 1879 dan jaringan trem pada tahun 1889.[7] 

Jalur kereta api yang pertama kali dibuka adalah jalur Blitar-Malang, kemudian menyusul dibukanya jalur kereta api jurusan Malang-Surabaya. Untuk menopang perekonomian dalam kota Malang, pemerintah kolonial kemudian memberikan izin kepada J. Andre dela Porte dan J.W. Post untuk membangun dan mengoperasikan jaringan trem di Kabupaten Malang dan sekitarnya.[8]

Keberadaan dua mode transportasi massal itu telah menghilangkan hambatan alam yang selama itu telah menjadikan Malang sebagai daerah tertutup. Dengan dibukanya jalur kereta api dan trem, arus urbanisasi dari daerah sekitar Malang dan migrasi dari penduduk Belanda ke kota Malang pun tidak terelakkan.

Menjadi Inspirasi dari Multatuli

Besarnya kontribusi kopi terhadap perubahan dan perkembangan wajah kota Malang tergambarkan dari sebuah pemberitaan di surat kabar Tjahaja Timoer, surat kabar lokal Malang berbahasa Melayu yang terbit pertama kali pada tahun 1907.

 "Cucuku, dulu waktu aku masih anak-anak, makmur benar keadaan kita. Pada waktu itu alun-alun masih dikelilingi pagar tanaman jarak dan masih di dalam kekuasaan Kanjeng Regent (Bupati). Di sebelah Lor (utara) - dimana sekarang ada lapangan tenis, dahulu ada loods-loods tempat penyimpanan kopi milik Kanjeng Gouvernement. Pada saat oogst (panenan) kopi, beberapa loods itu penuh sesak (kopi) sehingga tidak dapat termuat semuanya. Dari hari ke hari, dari pagi hingga sore cikar bermuatan kopi dari desa beserta pemiliknya datang tidak henti-hentinya. Aku bersama teman-temanku bermain-main di dekat los-los itu dan biasanya diberi persen oleh penjual kopi tadi".[9] 

Kehidupan perkebunan kopi di Malang juga menjadi inspirasi dari Multatuli (Edward Douwes Dekker) yang pernah bekerja di Perkebunan Kopi Sumber Duren Malang dan Pabrik Gula Padjarakan, Probolinggo saat menulis novel Max Havelaar.

Kopi Dampit, Kopi Robusta Terbaik di Indonesia

Masuknya tanaman kopi dan dimulainya era Tanam Paksa pada akhirnya mengubah wajah Malang. Dari daerah yang semula diremehkan, bahkan dianggap oleh Kumpeni sebagai wilayah yang "kurang aman" menjadi daerah andalan dan penghasil utama kopi bagi Belanda.

Pada tahun 2015, luas perkebunan kopi Robusta di Malang yang dikelola negara mencapai 2.675 hektar dengan kapasitas produksi mencapai 1.221 ton. Sementara untuk jenis kopi Arabika, luas perkebunan di Malang yang dikelola rakyat mencapai 971 hektar dengan kapasitas produksi 245 ton.[10]

Bahkan hingga kini, kopi asal Dampit, Kabupaten Malang atau lebih dikenal Kopi Dampit secara kontinyu menjadi komoditas ekspor andalan dan dinilai sebagai salah satu kopi jenis Robusta terbaik. Kopi robusta Dampit diproses dengan metode kering atau umumnya disebut dengan dry process.

Setelah disangrai aroma yang dapat tercium terutama dalam proses penggilingan adalah wangi karamel serta manis khas roti yang baru matang. Aroma milk chocolate dan karamel ditambah dengan wangi khas kopi yang harum sekali saat disajikan sebagai coffee drip.

Catatan kaki:
1. Domis, H.I, 1836. De Residentie Pasoeroeang. Gravenhage: Gedrukt bij H SJ De Groot, MDCCCXXXVI
2. Kasdi, 2003: 171-172
3. Breman, Jan. 2014. Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa (1720-1870). Yayasan Pustaka Obor, hal 61
4. Moeslim Dalid, Kotapraja Malang 50 Tahun, (Malang: 50 Tahun Kotapraja Malang, 1964), hlm. 54
5. Lakeman, P.K.W. 1934. Stadsgemeente Malang 14 April 1914-1934. Malang: G. Kolff & Co, hlm. 24
6. Van Schaik, A. 1996. Malang Beeld van een Stad. Purmerend Asia Maior, hlm. 19
7. A. Van Schaik, op.cit., hlm. 22-23
8. Government Besluit tanggal 28 Mei 1894 No. 2. Dalam Tri Wicaksono, Galih &  Septina Alrianingrum. Malang Stoomtram Maatschappij Pada Masa Kolonial di Malang Tahun 1901-1930. Jurnal Avatara Volume 5, No. 3, Oktober 2017
9. Tjahaja Timoer 29 Juli 1921 dalam Hudiyono, Kopi dan Gula: Perkebunan di Kawasan Regenschaap Malang, 1832-1942

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun