Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjadi Guru yang Baik dengan Berdiri di Bahu Raksasa

25 November 2019   12:39 Diperbarui: 26 November 2019   07:29 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi guru yang baik (sumber gambar diolah dari Canva.com)

"Setiap orang menjadi guru, setiap rumah menjadi sekolah" 

~ Ki Hajar Dewantara ~

Pengalaman saya menjadi guru pertama kali sewaktu masih menjadi siswa sekolah dasar. Murid saya adalah teman-teman sekelas. Ketika itu, ada seorang teman yang minta dibimbing karena nilai matematikanya selalu jelek.

Gayung bersambut, beberapa teman yang lain meminta hal yang sama. Akhirnya, ruang tamu rumah saya pun berubah jadi ruang kelas bimbingan belajar. Pengalaman ini berlanjut hingga saya duduk di bangku SMP.

Berbekal pengalaman sewaktu kecil itulah saya tidak merasa gugup jika diminta mengajar atau memberi materi pelajaran tertentu, termasuk ketika dipercaya menjadi fasilitator Gapura Digital untuk kelas UMKM di Kota Malang.

Guru Bukan Satu-satunya Sumber Ilmu di Kelas

Dalam beberapa materi yang diajarkan oleh Gapura Digital, terus terang saya bukan ahlinya. Misalnya ketika mengajar tentang SEO, saya yakin ada beberapa orang diantara peserta pelatihan yang lebih menguasai dibandingkan saya sendiri. Mengutip kata seorang teman, "Bisa saja di antara peserta itu ada 'mastah' berbulu 'newbie'. Maksudnya, ada seorang yang ahli, tapi menyamar jadi peserta karena ingin menguji pematerinya.

Karena itulah setiap kali saya mengajar, saya selalu menekankan bahwa saya bukan satu-satunya sumber ilmu di kelas pada saat itu. Semua orang yang ada di kelas adalah sumber ilmu. Ketika ada pertanyaan yang tidak bisa saya jawab, maka si penanya itu adalah sumber ilmu bagi saya, dan juga bagi peserta lainnya.

Terlepas dari kenyataan, bahwa saya bukan orang yang sangat menguasai materi yang sedang dipelajari, saya berhasil menjaga perhatian peserta pelatihan selama 2 jam berturut-turut. Saya berhasil mengajari mereka perspektif baru yang belum pernah mereka pikirkan. Saya membuat mereka memikirkan kembali kemampuan mereka sendiri, memberi mereka kepercayaan diri yang meningkat, memuji dan menghargai mereka. Saya menerima umpan balik yang sangat baik, saya melihat wajah tersenyum, saya melihat mereka mencatat dan mengangguk dengan antusias setiap kali ada jawaban yang memuaskan.

Semua Orang Bisa Menjadi Guru, Tapi Tidak Semua Orang Bisa Menjadi Guru yang Baik

Sebagaimana kutipan dari Ki Hajar Dewantara di atas, kita tidak selalu harus memiliki semua kualifikasi, semua keahlian, semua pengetahuan, untuk dapat menawarkan perspektif baru, struktur baru, beberapa wawasan tentang ilmu dan keterampilan yang dimiliki orang lain. Semua orang bisa mengajar, semua orang bisa menjadi guru.

Tapi, tidak semua orang bisa mengajar dengan tepat dan menjadi guru yang baik.

Seorang bijak pernah berkata, "Jika Anda mengatakan Anda telah mengajar, tetapi orang-orang tidak belajar apa pun, maka Anda tidak mengajarkan apa pun."

Apa yang kita ajarkan diukur dari apa yang sudah dipelajari orang. Bukan apa yang mereka sukai, bukan apa yang mereka minati. Tetapi apa yang bisa mereka lakukan sebagai hasil dari pengetahuan yang kita bagikan.

Mengajar lebih dari sekadar memberi tahu dan menunjukkan pada orang bagaimana melakukan sesuatu. Mengajar adalah tentang bagaimana kita bisa turun ke tingkat siswa dan membangun jembatan untuk membawa mereka dari tempat mereka berpijak ke tempat baru yang kita inginkan berbekal pengetahuan yang kita bagikan.

Kemampuan untuk membangun jembatan inilah yang dimiliki oleh guru yang baik, dan tidak dimiliki oleh pengajar yang buruk. Dan kemampuan ini bisa kita miliki jika kita bisa berdiri di bahu para raksasa.

***

Stand on the Shoulders of Giants

Kutipan Berdiri di bahu raksasa pada Google Cendekia (screenshot dokumentasi pribadi)
Kutipan Berdiri di bahu raksasa pada Google Cendekia (screenshot dokumentasi pribadi)
Kalau kita membuka halaman Google Scholar, atau dalam versi Indonesianya adalah Google Cendekia, kita akan menemukan kutipan berbunyi "Stand on the Shoulders of Giants", Berdiri di Bahu Raksasa.

Kalimat yang sekarang menjadi catch phrase dari Google Scholar ini adalah terjemahan secara harfiah dari kalimat Nanos Gigantum Humeris Insidentes. Kalimat ini diatribusi pada Bernard of Chartres di abad ke-12.

Pada 1159, John of Salisbury menulis dalam Metalogicon-nya: "Bernard dari Chartres biasa membandingkan kami dengan kurcaci yang bertengger di pundak para raksasa. Dia menunjukkan bahwa kita melihat lebih banyak dan lebih jauh daripada para pendahulu kita, bukan karena kita memiliki penglihatan yang lebih tajam atau ketinggian yang lebih besar, tetapi karena kita diangkat dan diangkat tinggi-tinggi dengan perawakan raksasa mereka."

Metafora kurcari yang berdiri di bahu raksasa ini kemudian dipopulerkan oleh Sir Isaac Newton dalam suratnya kepada Robert Hooke pada tahun 1676 dengan kalimat lengkap "If I have seen further, it is by standing on the shoulders of giants."

Apa maksud dari kalimat ini?

Sederhana saja. Seperti yang dikatakan Newton, "Jika aku sudah melihat jauh ke depan, itu karena aku berdiri di bahunya raksasa." Newton menulis kalimat itu dalam suratnya kepada Robert Hooke untuk menunjukkan rasa hormatnya kepada Hooke atas pemikiran-pemikirannya yang sudah membuka wawasan pribadi Newton.

Tidak hanya kepada Robert Hooke saja, ucapan terima kasih dengan mengambil metafora kurcaci yang berdiri di bahu raksasa ini juga disampaikannya kepada gurunya yang lain, seperti Rene Descartes. Newton sadar, apa yang ia lakukan, apa yang ia capai tidak akan bisa sejauh itu jika tidak didahului pemikiran orang-orang pandai sebelumnya.

Kita Adalah Kurcaci yang Sedang Berdiri di Bahu Raksasa

Bernard of Chartres mengucapkan adagium yang kemudian dikutip Newton itu dalam konteks: Orang-orang modern (di jamannya tentu saja) adalah sebagaimana orang-orang kerdil atau kurcaci yang berdiri di bahu raksasa, yaitu orang-orang berilmu jaman dahulu sehingga mereka bisa melihat lebih jelas dan lebih jauh.

Kita adalah kurcaci, dan para cerdik cendekia jaman dahulu adalah raksasanya. Tapi kita bisa melihat lebih jauh dan lebih jelas dari orang-orang pandai jaman dahulu karena kita berdiri di bahu mereka.

Semakin tinggi bahu raksasa, maka semakin jauh pula kita bisa memandang ke depan. Tentunya pemandangan ini akan berbeda jika ada orang lain yang menaiki bahu raksasa yang lebih rendah. Artinya, semakin banyak guru yang ilmunya kita serap dan pelajari, semakin luas pula pengetahuan yang kita miliki.

Namun, seorang yang ingin mencapai bahu raksasa yang tinggi (sementara dia sendiri orang kerdil atau kurcaci), maka ia harus memulai dengan mendaki bahu-bahu raksasa yang lebih pendek atau lebih kecil dahulu. Satu demi satu, terus mendaki hingga ia bisa mencapai puncak bahu raksasa yang paling tinggi sesuai dengan kemampuannya mendaki.

Dalam proses belajar dan mengajar, kita juga mengalami proses yang sama. Kita memulainya dengan hal yang sederhana dan mampu kita pahami, terus meningkat semakin kompleks dan semakin banyak hal yang kita pelajari.

Akan sulit bagi seseorang untuk bisa memahami cerita orang yang sudah melihat luasnya pemandangan dari bahu raksasa yang tinggi sekali, sedangkan ia masih berada di bawahnya dengan pemandangan yang terbatas.

Jika ia melakukannya dengan instan, sesampainya di atas ia malah akan kebingungan karena tidak paham bagaimana perubahan pemandangan dari rendah ke tinggi. Cerita atau pengalaman tentang pemandangan ketinggian itu akan terasa hampa karena ia tidak mampu mendeskripsikan pemandangan itu, tanpa bisa menjelaskan bagaimana ia bisa mencapai dan menikmati pendakiannya.

Deskripsinya mungkin mengundang decak kagum, tetapi akan selesai begitu saja. Kekaguman yang tidak berarti karena ia gagal menjadi inspirator dan pendidik bagi orang lain supaya bisa meraih posisi di ketinggian tersebut.

***

Ironi Anak-anak Muda yang Meremehkan Peran Gurunya

Beberapa waktu lalu, di twitter sempat ada trending topic tentang Guru BK (Bimbingan dan Konseling). Banyak netizen, terutama generasi milenial yang memposting pendapat mereka tentang guru BK. Mirisnya, postingan itu malah cenderung merendahkan dan meremehkan kontribusi guru BK dalam perjalanan karir atau kesuksesan yang sudah mereka raih saat ini.

"Guru BK gue dulu bilang gue gak akan bisa masuk Kedokteran. Nih buktinya apa yang dulu dibilang gue BK itu salah besar."

"Guru BK itu cuma tempat curhat dan cari-cari masalah."

Rasa merendahkan dan meremehkan yang tidak pada tempatnya, karena bagaimanapun juga apa yang sudah mereka raih saat ini tak lepas dari kontribusi para guru dan pendidik, termasuk pula guru BK. Tanpa disadari, apa yang dulu dikatakan guru BK yang dianggap meremehkan kemampuan siswa justru menjadi motivasi ekstrinsik dan melecut semangat mereka untuk membuktikan yang sebaliknya.

Sangat naif apabila ada orang yang menganggap apa yang didapatkannya hari ini lepas dari sumbangsih pemikiran, wawasan, pengetahuan hingga motivasi dari guru-gurunya. Alangkah lucunya apabila ada orang yang menganggap ia sukses tapi menihilkan peranan gurunya sendiri.

Dan guru itu tidak hanya kita temui di kelas pembelajaran saja. Teman, tetangga, hingga orang-orang yang tidak kita kenal namun karenanya kita menjadi terinspirasi dan mampu bertindak, mereka semua adalah guru kita.

Pola semacam ini bisa kita temui di era digital dalam dunia yang serba tersambung dan terhubung. Kita bisa menemui guru itu dalam tulisan, postingan di media sosial, atau kutipan-kutipan di manapun ia bisa ditemui.

Menjadi Guru yang Baik dengan Berdiri di Bahu Raksasa

Di Hari Guru Nasional ini, marilah kita berusaha menjadi kurcaci dan raksasa dengan sama baiknya. Sebagai kurcaci, kita berupaya mendapatkan pemandangan dari atas bahu tertinggi dengan mendaki, menaiki satu persatu pijakan yang akan menopang kita untuk mencapai posisi tertinggi. Inilah proses pendidikan seorang pendidik.

Sebagai raksasa, tugas kita jauh lebih berat. Kita sedang berusaha untuk memberikan bahu terbaik dan tertinggi bagi siswa atau orang yang belajar pada kita. Kita sedang berusaha untuk membuat bahu kita bisa berperan bagi orang lain.

Bahu yang baik tentu terlahir dari bahu yang sudah terlatih, yang mampu menahan beban berat, tapi tetap fleksibel. Bukan bahu yang mudah terkilir, tidak ada tonjolan yang bisa dipakai pijakan dan licin bagian atasnya hingga membuat orang yang berpijak mudah jatuh karenanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun