Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menengok Kembali Detik-detik Lahirnya Oeang Republik Indonesia

1 November 2019   07:01 Diperbarui: 2 November 2019   11:27 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ORI emisi I dan II (sumber gambar: Bank Indonesia melalui liputan6.com)

Pada Januari 1946, para tokoh bangsa yang dipelopori dua proklamator Soekarno-Hatta sepakat untuk memindahkan ibukota negara ke Yogyakarta. Saat itu, Republik Indonesia yang baru berusia kurang dari satu tahun tengah terancam dengan datangnya tentara sekutu yang membonceng tentara Belanda.

Selain memindahkan ibukota negara, salah satu peristiwa penting yang terjadi pada tahun 1946 adalah lahirnya Oeang Republik Indonesia, uang pertama milik bangsa Indonesia. 

Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia memang belum memiliki mata uang sendiri. Dari jaman penjajahan Belanda hingga masa pendudukan Jepang, rakyat Indonesia menggunakan mata uang bangsa penjajahnya.

Uang yang Beredar Pasca Proklamasi Kemerdekaan

Pada masa pendudukan Jepang, ada tiga jenis uang Jepang yang yang beredar.    Pertama, uang yang telah disiapkan Jepang sebelum mereka menguasai Indonesia. Uang dengan satuan gulden (f) dan berbahasa Hindia Belanda ini disebut De Japansche Regering. 

Uang Jepang kedua yang beredar adalah uang emisi 1943, yaitu saat tentara Jepang menduduki Indonesia. Uang ini berbahasa Indonesia dengan pecahan bernilai 100 rupiah. Sedangkan yang ketiga adalah uang yang bernama Dai Nippon Teikoku Seibu dengan pecahan 10 rupiah dan 5 rupiah.

Pasca proklamasi, ketiga uang Jepang ini masih beredar dan oleh pemerintah Indonesia dikukuhkan sebagai alat pembayaran resmi di wilayah Republik. 

Namun, Belanda datang lagi bersama NICA (Netherlands Indishce Civil Administration) pada akhir September 1945. Kedatangan mereka kali ini bahkan langsung melanggar perjanjian dilarangnya mengeluarkan uang baru.

Belanda malah mengeluarkan uang NICA pada 6 Maret 1946. Karena merasa masih menjajah Indonesia, Belanda memaksakan uang NICA beredar dan menjadi alat pembayaran di kota-kota. 

Tetapi, para pedagang dan petani dari desa hanya mau menerima uang Jepang sesuai yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.

Tentu saja perbedaan mata uang ini menyulitkan rakyat Indonesia. Para pekerja di kota dibayar dengan uang NICA, sementara para pedagang dan petani tidak mau menerimanya. 

Akibatnya, nilai mata uang NICA merosot karena tidak laku dan terjadilah kenaikan harga barang dan inflasi. Daya beli masyarakat kota turun, sementara hasil produksi dari desa-desa akhirnya tidak bisa diserap dan hanya bisa dijual di wilayah pedesaan.

Proses Lahirnya Oeang Republik Indonesia

Melihat kondisi yang menyengsarakan rakyat Indonesia tersebut, sejak bulan Oktober 1945 pemerintah Indonesia yang baru lahir berencana membuat mata uang sendiri, Oeang Repoeblik Indonesia (ORI).  

Namun, bukan perkara yang mudah untuk bisa mencetak dan mengedarkan mata uang milik bangsa.

Berbagai macam kendala sudah menghadang sejak masa perencanaan ORI. Mulai dari stok kertas, tinta, bahan kimia untuk fotografi, pelat seng untuk klise, hingga mesin aduk untuk membuat tinta. 

Akhirnya, setelah mendapat bantuan secara sukarela dari para karyawan beberapa perusahaan asing di Jakarta yang belum sempat dikuasai Sekutu, bahan-bahan dan alat-alat yang dibutuhkan berhasil dikumpulkan.

Pada masa Menteri Keuangan keempat Surachman Tjokroadisuryo, ORI mulai dicetak di Percetakan Republik Indonesia, Salemba, Jakarta,. Proses produksi ORI dimulai pada Januari 1946. 

Percetakan bekerja keras setiap hari, sejak pukul tujuh pagi sampai pukul sepuluh malam. Karena kondisi yang semakin tidak memungkinkan, proses pencetakan ORI di Jakarta dihentikan. 

Untuk sementara, ORI kemudian dicetak di daerah-daerah seperti Yogyakarta, Surakarta, Malang, dan Ponorogo.

ORI diinisiasi oleh Menteri Keuangan kedua yaitu A.A. Maramis dengan membentuk Panitia Penyelenggara Pencetakan Oeang RI (PPPO-RI) yang diketuai T.B.R. Sabarudin. Kala itu Sabarudin menjabat sebagai Direktur Bank Rakyat Indonesia.

Namun, ORI baru selesai dicetak dan diedarkan saat periode Menteri Keuangan kelima, Sjafruddin Prawiranegara. Pada saat itu, ORI emisi 1 terbit dalam delapan seri uang kertas yaitu satu sen, lima sen, sepuluh sen, setengah rupiah, satu rupiah, lima rupiah, sepuluh rupiah, dan seratus rupiah.

Pidato Bung Hatta Menyambut Lahirnya Oeang Republik Indonesia

Pada malam 29 Oktober 1946, detik-detik lahirnya ORI diawali dengan pidato yang disampaikan Bung Hatta di Radio Republik Indonesia, di ibukota negara yang baru, Yogyakarta.

Jarum jam menunjukkan pukul 20.00 ketika Bung Hatta memulai pidatonya.

"Besok tanggal 30 oktober 1946 adalah suatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air kita. Rakyat kita menghadapi penghidupan baru."

Nada suara Bung Hatta terdengar bersemangat. Sebagai orang yang berlatar belakang pendidikan ekonomi, Bung Hatta selalu peduli pada masalah kesejahteraan rakyat Indonesia. 

Salah satunya tentang hal yang hendak diumumkannya sendiri malam itu. Bung Hatta terdengar sangat menjiwai pidato yang menandai lahirnya Oeang Republik Indonesia (ORI), mata uang bangsa Indonesia.

"Besok," Bung Hatta melanjutkan, "mulai beredar Oeang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah. Mulai pukul 12 tengah malam nanti, uang Jepang yang selama ini beredar sebagai uang yang sah, tidak laku lagi. Beserta dengan uang Jepang itu, ikut pula tidak berlaku uang De Javasche Bank. Dengan ini tutuplah suatu masa dalam sejarah keuangan Republik Indonesia. Masa yang penuh penderitaan dan kesukaran bagi rakyat kita."

Uang De Javasche Bank yang dimaksud Bung Hatta adalah uang NICA yang dikeluarkan pemerintah Belanda ketika mereka datang kembali ke Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan.

"Sejak mulai besok," lanjut bung Hatta, "kita akan berbelanja dengan uang kita sendiri, uang yang dikeluarkan oleh Republik kita."

Dari pertama memulai pidatonya, intonasi suara Bung Hatta yang khas, tenang dan mengalir lancar tetap terjaga. Namun, aura kebahagiaan dan semangat menyambut era baru sangat terasa dalam pidatonya kali ini.

"Mulai besok," seru bung Hatta, "kita akan berbelanja dengan uang kita sendiri! "Uang Republik keluar dengan membawa perubahan nasib rakyat, istimewa pegawai negeri yang sekian lama menderita karena inflasi uang Jepang."

Ketika Belanda datang kembali, pegawai negeri dibayar dengan uang NICA karena berada di wilayah kota yang dikuasai Belanda. Di sisi lain, para pedagang hanya mau menerima uang Jepang. 

Sementara itu, kebutuhan hidup harus dipenuhi sehingga masyarakat di kota yang sebagian besar pegawai negeri ramai-ramai menukarkan uang NICA dengan uang Jepang agar mereka bisa membeli barang. 

Karena itulah terjadi kenaikan nilai uang Jepang (inflasi) yang mengakibatkan penderitaan pegawai negeri seperti yang digambarkan Bung Hatta.

"Rupiah Republik yang harganya di Jawa lima puluh kali harga rupiah Jepang, di Sumatera seratus kali," lanjut bung Hatta, "menimbulkan sekaligus tenaga pembeli kepada rakyat yang bergaji tetap yang selama ini hidup daripada menjual pakaian dan perabot rumah, dan juga kepada rakyat yang menghasilkan, yang penghargaan tukar penghasilannya jadi bertambah besar."

Tenaga pembeli yang dimaksud Bung Hatta, adalah meningkatnya daya beli masyarakat karena kurs ORI yang sedemikian kuat. Kebijakan penetapan kurs seperti itu diharapkan bisa menimbulkan kebanggaan terhadap bangsa sendiri, kebanggaan untuk menggunakan uang sendiri. 

Selain itu, diharapkan pula rakyat berbondong-bondong menukarkan uangnya dengan ORI agar uang-uang yang telah dinyatakan tidak berlaku lagi tadi segera hilang dari peredaran.

Itulah sekelumit pidato Bung Hatta menyambut lahirnya Oeang Republik Indonesia (ORI). Tanggal 30 Oktober 1946 merupakan hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia. 

Hari pertama rakyat Indonesia memiliki uang sendiri. Uang yang dicetak oleh bangsa sendiri, yang melengkapi kemerdekaan Republik Indonesia.

Referensi:

1. Kementerian Keuangan. 1990. Rupiah di Tengah Rentang Sejarah. Jakarta: Majalah Anggaran.

2. Kementerian Keuangan. 1992. Nagara Dana Rakca. Jakarta: Majalah Anggaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun