Ketika Belanda datang kembali, pegawai negeri dibayar dengan uang NICA karena berada di wilayah kota yang dikuasai Belanda. Di sisi lain, para pedagang hanya mau menerima uang Jepang.Â
Sementara itu, kebutuhan hidup harus dipenuhi sehingga masyarakat di kota yang sebagian besar pegawai negeri ramai-ramai menukarkan uang NICA dengan uang Jepang agar mereka bisa membeli barang.Â
Karena itulah terjadi kenaikan nilai uang Jepang (inflasi) yang mengakibatkan penderitaan pegawai negeri seperti yang digambarkan Bung Hatta.
"Rupiah Republik yang harganya di Jawa lima puluh kali harga rupiah Jepang, di Sumatera seratus kali," lanjut bung Hatta, "menimbulkan sekaligus tenaga pembeli kepada rakyat yang bergaji tetap yang selama ini hidup daripada menjual pakaian dan perabot rumah, dan juga kepada rakyat yang menghasilkan, yang penghargaan tukar penghasilannya jadi bertambah besar."
Tenaga pembeli yang dimaksud Bung Hatta, adalah meningkatnya daya beli masyarakat karena kurs ORI yang sedemikian kuat. Kebijakan penetapan kurs seperti itu diharapkan bisa menimbulkan kebanggaan terhadap bangsa sendiri, kebanggaan untuk menggunakan uang sendiri.Â
Selain itu, diharapkan pula rakyat berbondong-bondong menukarkan uangnya dengan ORI agar uang-uang yang telah dinyatakan tidak berlaku lagi tadi segera hilang dari peredaran.
Itulah sekelumit pidato Bung Hatta menyambut lahirnya Oeang Republik Indonesia (ORI). Tanggal 30 Oktober 1946 merupakan hari yang bersejarah bagi bangsa Indonesia.Â
Hari pertama rakyat Indonesia memiliki uang sendiri. Uang yang dicetak oleh bangsa sendiri, yang melengkapi kemerdekaan Republik Indonesia.
Referensi:
1. Kementerian Keuangan. 1990. Rupiah di Tengah Rentang Sejarah. Jakarta: Majalah Anggaran.
2. Kementerian Keuangan. 1992. Nagara Dana Rakca. Jakarta: Majalah Anggaran.