Pola makan sehat adalah pola makan yang memenuhi kebutuhan gizi individu dengan menyediakan makanan yang cukup, aman, bergizi, dan beragam untuk menjalani kehidupan yang aktif dan mengurangi risiko penyakit. Ini termasuk, antara lain, buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, kacang-kacangan, biji-bijian dan biji-bijian, dan makanan yang rendah lemak (terutama lemak jenuh), gula dan garam.
Menurut FAO, ada ketimpangan yang sangat tajam dari pola makan dan gaya hidup yang dilakukan penduduk dunia pada saat ini. Banyak orang yang belum memahami pentingnya pola makan sehat dan banyak pula orang yang menghambur-hamburkan makanannya. Sementara di belahan dunia lain, makanan bergizi untuk mendukung pola makan sehat tidak tersedia atau terjangkau bagi banyak orang.
FAO menyoroti semakin melonjaknya angka obesitas yang disebabkan kombinasi dari pola makan yang tidak sehat dan gaya hidup yang tidak banyak bergerak. Â Tingginya angka obesitas ini tidak hanya terdapat di negara maju, tetapi juga di negara-negara berpenghasilan rendah di mana kelaparan dan obesitas sering terjadi bersamaan.
Hingga saat ini terdapat lebih dari 670 juta orang dewasa dan 120 juta anak perempuan dan laki-laki (5-19 tahun) yang mengalami obesitas. Selain itu, ada lebih dari 40 juta anak di bawah usia 5 tahun kelebihan berat badan, sementara di satu sisi lebih dari 820 juta orang menderita kelaparan. Sebuah fakta yang sangat ironis.
Tema Hari Pangan Sedunia 2019 dalam Pandangan Al Quran
Dalam perspektif ajaran Islam, tema Hari Pangan Sedunia dua tahun terakhir ini sejalan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Bukan mengada-ada jika dikatakan sejak dini Al Quran telah membicarakan pangan dan pola makan yang sehat.
Di dalam surah Al Baqarah ayat 168 Allah berfirman, Â
"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi."
Kata thayyib yang terdapat dalam teks ayat tersebut mengandung arti baik, berkualitas dan bermanfaat. Arti dari makanan yang thayyib ini berada dalam pengertian yang subyektif. Maksudnya, meskipun makanan itu secara obyektif baik dan bermanfaat bagi kita, namun belum tentu membawa manfaat bagi orang lain.
Misalnya, ada orang yang karena menderita penyakit tertentu, dia dilarang makan daging kambing. Atau bagi beberapa balita ada yang menderita alergi pada susu sapi.Â
Secara obyektif, daging kambing dan susu sapi adalah makanan yang baik (dan halal zatnya), tapi secara subyektif bagi beberapa orang dua makanan ini tidak baik dan tidak membawa manfaat kesehatan.
Selama ini, para pendakwah lebih banyak fokus pada "makanan yang halal", tapi sering melupakan "makanan yang baik". Padahal halal dan baik ini berada dalam satu urutan perintah.Â