Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masih Adakah Adab dalam Mencari Ilmu?

4 Agustus 2019   11:41 Diperbarui: 4 Agustus 2019   11:46 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada musim dingin 1903, seorang pemuda yang bercita-cita jadi penyair dan penulis buku, Franz Xaver Kappus sedang galau. Di tengah ketidakpastian karir militernya, Kappus mempertimbangkan untuk keluar dari sekolah dan meneruskan mimpinya menjadi penyair dan penulis. Selama menjalani masa pendidikan di Akademi Militer Theresia, Austria, Kappus mengisi waktu senggangnya dengan menulis puisi.

Tapi Kappus merasa bimbang dan dilanda keraguan hebat. Kappus bertanya-tanya apakah memang dia berbakat jadi penyair dan penulis? Apakah puisi-puisi yang sudah ditulisnya selama ini bisa dikatakan bagus?

Di tengah banyak pertanyaan yang meragukan dirinya sendiri itu, suatu hari Kappus mengetahui kalau Rainer Maria Rilke, seorang penyair terkenal yang ia kagumi, pernah menjalani pendidikan yang sama di tempat tersebut pada tahun 1880-an. Namun karena menderita kesehatan yang buruk, Rilke akhirnya meninggalkan karier militernya untuk menulis.

Kappus lalu menulis surat pada Rielke dan mengiriminya karya puisi yang sudah ditulisnya. Dalam suratnya, Kapus meminta Rielke untuk menilai puisinya, dan meminta nasihat serta masukan dari Rielke apakah dengan puisi itu Kapus punya bakat menjadi penyair dan penulis, atau harus meneruskan pendidikan militernya.

***

Pada 1956, penulis serial fantasi Chronicles of Narnia, C.S. Lewis menerima banyak surat dari penggemarnya, terutama anak-anak di seluruh dunia. Dalam tumpukan surat yang diterimanya, terselip satu surat dari Joan, gadis muda asal Amerika Serikat.

Joan meminta nasihat C.S. Lewis tentang bagaimana menulis cerita yang baik. Joan juga meminta petunjuk C.S Lewis atas karya tulisnya yang berjudul Wonderful Night. CS. Lewis dan Joan akhirnya berkorespondensi melalui surat sampai sekitar 20 kali. Kumpulan surat C.S. Lewis kepada Joan dan anak-anak lainnya ini kemudian dibukukan dalam Letters to Children.

***

Beberapa waktu lalu, saya menerima email dari Kompasianer Evridus Mangung. Dalam emailnya, Bang Evridus meminta masukan dari saya untuk artikel opininya.

Ini pertama kalinya saya diminta menilai dan memberi masukan untuk tulisan orang lain. Terus terang, seperti yang saya tulis dalam email balasan saya ke Bang Evridus, saya bukan penilai yang baik karena pengalaman menulis saya masih sedikit.

Saya kemudian memberi masukan pada Bang Evridus berdasarkan pengalaman saya sendiri dalam menulis opini. Tentu saja, masukan saya hanya seujung kuku bila Bang Evridus meminta masukan pada penulis lain yang jauh lebih hebat dan lebih berpengalaman.

Di awal tulisan, saya menceritakan kisah Franz Xaver Kappus yang meminta nasihat pada Rainer Maria Rielke. Juga ada cerita Joan, gadis cilik yang menulis surat pada penulis idolanya C.S Lewis. Saya menggabungkan dua cerita ini dengan pengalaman saya bukan berarti saya sudah selevel dengan Rielke atau C.S. Lewis.

Namun, email dari Bang Evridus dan cerita Kappus serta Joan tersebut memberi pelajaran berharga bagi saya sendiri, sekaligus sebagai pengingat: Bahwa murid harus bertanya pada guru. Murid harus "mendatangi gurunya". Seperti itulah adab mencari ilmu.

Selama ini, kita cenderung merasa "sok tahu" dan "sok mengerti". Kita malu untuk bertanya langsung pada mereka yang lebih punya ilmu dan lebih punya pengalaman. Kita merasa, dengan hanya membaca artikel berupa tips-tips atau pengetahuan lain yang mereka tulis, kita sudah mengambil manfaat dari ilmu yang mereka bagikan.

Kappus bisa saja belajar menulis puisi dari beberapa karya puisi yang sudah ditulis oleh Rielke. Joan juga bisa secara otodidak belajar menulis fiksi dengan hanya membaca Chronicles of Narnia. 

Tapi baik Kappus maupun Joan merasa kurang. Sebagai murid yang membutuhkan ilmu, mereka merasa tidak afdhol rasanya jika tidak bertanya langsung pada gurunya. Kappus dan Joan lalu mendatangi gurunya melalui surat-surat mereka. Mereka bahkan mengirim tulisan mereka supaya bisa dinilai langsung oleh sang guru.

Bang Evridus, sebagaimana Kappus dan Joan juga begitu. Dalam emailnya, Bang Evridus mengatakan sudah membaca artikel saya tentang tips menulis opini. 

Sekalipun begitu, Bang Evridus masih merasa kurang. Dan Bang Evridus seolah merasa tidak afdhol apabila tulisannya sendiri tidak dinilai langsung oleh orang yang sudah ia ambil ilmunya.

Sekali lagi, bukan berarti saya sudah jadi guru yang hebat. Di luar sana, ada banyak penulis opini yang bisa memberi masukan lebih baik. Namun karena Bang Evridus menemukan tulisan saya di Kompasiana, maka lewat Kompasiana pula Bang Evridus belajar pada saya.

Apa yang dilakukan Bang Evridus benar-benar jadi pelajaran berharga, khususnya bagi saya pribadi. Di jaman sekarang, banyak murid yang merasa derajatnya lebih tinggi dari guru. Alih-alih mendatangi guru, murid jaman sekarang yang malah meminta sang guru untuk datang ke rumahnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun