Akan ada banyak tantangan, khususnya bagi universitas tersebut (dalam hal ini UPN Veteran Jakarta) untuk menilai dan menciptakan standar serta parameter tersendiri terkait kualitas pencipta konten dan isi kontennya. Konten yang bernilai positif saja tidak cukup, karena pihak universitas jelas tidak bisa mengawasi algoritma rekomendasi YouTube yang dibuat sangat fleksibel, tergantung personalisasi setiap pengguna.
Membuat dan menciptakan konten video yang positif memang sebuah proses kreativitas yang layak dan patut dihargai. Apalagi jika konten itu bisa menginspirasi banyak pengguna, yah setidaknya minimal 10 ribu pengguna dan mungkin pula jutaan penonton lainnya. Namun, menjadikan angka ini dan isi kontennya sebagai standar jalur prestasi untuk masuk ke perguruan tinggi bukan langkah yang tepat. Mengingat banyaknya kekhawatiran terhadap konten-konten video yang ada di YouTube.
Kebijakan seperti ini juga terlihat sedikit ironis. Di tengah kekhawatiran pada budaya literasi yang sangat rendah, tawaran dari UPN Veteran Jakarta ini bisa membuat calon-calon mahasiswa dan calon sarjana mereka tak lagi banyak membaca, tapi malah berlomba membuat video dan menganjurkan generasi muda lainnya untuk menjadi generasi penonton, bukan generasi pembaca.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H