Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

YouTube, Antara Jalur Prestasi dan Potensi Radikalisasi

14 Juni 2019   23:54 Diperbarui: 15 Juni 2019   17:35 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi (unsplash.com/@conkarampelas)

Pertama kalinya dalam sejarah pendidikan di Indonesia, sebuah universitas memasukkan YouTube Content Creator/YouTuber sebagai salah satu jalur prestasi untuk bisa menempuh pendidikan perguruan tinggi. Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jakarta (UPNVJ) mengundang YouTuber yang sudah memiliki minimal 10 ribu subscriber untuk kuliah di tempat mereka.

Bagi YouTuber yang berminat, mereka harus menyertakan link akun YouTube mereka saat mengikuti seleksi mandiri. Nantinya, pihak UPN Veteran yang akan menilai apakah konten yang mereka buat bisa dijadikan pertimbangan untuk bisa memasukkan mereka dalam jalur prestasi.

YouTube, Ladang bagi banyak karir dan profesi
Sejak diakuisisi oleh Google, platform media sosial berbagi video YouTube menggelembung menjadi landasan budaya modern dan kehidupan online. Tak hanya itu, YouTube juga menciptakan banyak industri baru dan menjadi ladang bagi karir yang tak terhitung jumlahnya dari para pembuat konten. Maka, lahirlah istilah baru dalam dunia karir dan profesi, yakni YouTuber.

Menjadi YouTuber bahkan bisa jadi salah satu profesi yang paling diinginkan anak-anak muda sekarang. Bayangan akan pundi-pundi uang yang diperoleh dari bagi hasil pendapatan iklan YouTube dengan pembuat kontennya membuat jutaan anak muda seolah terobsesi untuk menciptakan berbagai macam konten dengan satu tujuan utama: menarik minat pengguna untuk menontonnya sampai selesai dan berlangganan saluran mereka.

Tak heran apabila kemudian lalu lintas kunjungan ke YouTube melonjak sangat tajam, jauh melampaui situs manapun juga, kecuali induknya, Google. Dengan dua miliar pengguna aktif bulanan mengunggah lebih dari 500 jam video setiap menit, lalu lintas YouTube diperkirakan merupakan yang tertinggi kedua dari situs web mana pun, di belakang Google.com.

Potensi Radikalisasi di balik gemerlapnya YouTube.
Namun, dibalik kesuksesan YouTube yang menjadi ikon budaya populer dan kehidupan online, tersembunyi sebuah kekhawatiran -- kalau tidak dikatakan ketakutan -- bahwa YouTube bisa menjadi sumber radikalisme dan ekstrimisme. YouTube bisa menjadi alat perekrutan yang paling efektif dari organisasi-organisasi yang menganut pandangan radikal dan ekstrim.

Meskipun lahir dengan pandangan politik liberal, sebagaimana banyak perusahaan lain yang lahir di Silicon Valley, YouTube telah menjadi anugerah hiper-partisan di semua sisi. YouTube menjadi alat rekrutmen yang berguna bagi kelompok-kelompok ekstrimis dan radikalis.

"YouTube telah dapat terbang di bawah radar karena sampai saat ini, tidak ada yang menganggapnya sebagai tempat di mana radikalisasi terjadi," kata Becca Lewis, yang mempelajari ekstremisme online untuk organisasi nirlaba Data & Society.

"Tapi di situlah orang-orang muda mendapatkan informasi dan hiburan mereka, dan itu adalah ruang di mana para pencipta menyiarkan konten politik yang, kadang-kadang, supremasi kulit putih (radikal dan ekstrim)."

Algoritma Rekomendasi, kambing hitam dari sumber radikalisasi YouTube.
Para kritikus dan peneliti independen mengatakan bahwa YouTube secara tidak sengaja telah menciptakan jalan berbahaya menuju ekstremisme dengan menggabungkan dua hal: sebuah model bisnis yang menghargai video-video provokatif dengan uang dari pendapatan iklan, dan sebuah algoritma yang memandu pengguna ke jalur yang dipersonalisasi untuk menjaga mereka tetap terpaku layar mereka.

Algoritma yang dimaksud adalah algoritma rekomendasinya, yakni perangkat lunak yang menentukan video mana yang muncul di beranda pengguna dan di dalam bilah samping "Berikutnya" di samping video yang diputar. Algoritma ini bertanggung jawab untuk lebih dari 70 persen dari semua waktu yang dihabiskan pengguna di YouTube.

Sayangnya, algoritma YouTube tidak memiliki preferensi bawaan untuk konten politik ekstrem. Beberapa karyawan YouTube - yang disamarkan namanya- mengatakan pada Bloomberg bahwa para pemimpin perusahaan terobsesi dengan peningkatan keterlibatan pengguna (engagement) selama tahun-tahun itu. Para eksekutif, kata orang-orang tersebut, jarang mempertimbangkan apakah algoritma YouTube memicu penyebaran konten politik yang ekstrem dan penuh kebencian.

Pada 2015, tim peneliti dari Google Brain, divisi kecerdasan buatan Google yang banyak dipuji, mulai membangun kembali sistem algoritma rekomendasi YouTube di sekitar jaringan saraf, sejenis kecerdasan buatan (A.I) yang meniru otak manusia.

Dalam wawancara tahun 2017 dengan Verge, seorang eksekutif YouTube mengatakan algoritma baru ini mampu menarik pengguna lebih dalam ke platform dengan mencari tahu "hubungan yang berdekatan" antara video yang tidak akan pernah diidentifikasi oleh manusia.

Algoritma baru ini bekerja dengan baik, tetapi tidak sempurna. Satu masalah adalah, A.I untuk algoritma ini cenderung menyudutkan pengguna ke relung tertentu, merekomendasikan video yang mirip dengan yang telah mereka tonton. Akhirnya, pengguna pun merasa bosan.

Para peneliti di Google Brain kemudian menguji algoritma baru yang menggabungkan tipe A.I. yang berbeda, yang disebut penguatan pembelajaran (Reinforcement Learning). A.I. yang baru ini - lebih dikenal dengan sebutan Reinforce -, seolah menjadi semacam mesin kecanduan jangka panjang.

A.I yang ditanam dalam algoritma rekomendasi YouTube ini dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna dari waktu ke waktu dengan memprediksi rekomendasi mana yang akan memperluas selera mereka dan membuat mereka menonton tidak hanya satu video lagi tetapi lebih banyak lagi.

Pemberian Reinforcement Learning pada algoritma rekomendasi YouTube dimaksudkan untuk membuat rekomendasi lebih akurat, dengan menetralkan bias sistem terhadap konten populer.

Dengan demikian, pengguna tak hanya disodorkan rekomendasi video dengan tema yang sama yang bisa membuat mereka bosan. Lebih dari itu, algoritma YouTube ingin mempromosikan jenis eksplorasi lintas-genre yang sama. Situasi seperti inilah yang tengah disorot para kritikus yang mengatakan YouTube berpotensi menyebarkan virus radikalisasi pada anak-anak muda.

YouTube bukannya tidak menyadari potensi radikalisasi dan ekstrimisme ini. Sejak terjadinya banyak aksi teror dan kekerasan - baik itu dilakukan individu maupun kelompok -- yang konon terinspirasi dari video-video di YouTube, para eksekutif YouTube menjanjikan "keamanan dan perlindungan maksimal".

Pada awal bulan Juni 2019, YouTube mengumumkan bahwa mereka memperbarui kebijakannya untuk melarang video yang mendukung neo-Nazisme, supremasi kulit putih dan pandangan fanatik lainnya. YouTube juga mengatakan sedang mengubah algoritma rekomendasinya untuk mengurangi penyebaran informasi yang keliru (hoaks) dan teori konspirasi.

Menjadikan YouTuber sebagai Jalur Prestasi, sudah tepatkah?
Di tengah banjir kritik terhadap konten dan potensi radikalisasi oleh YouTube, menjadikan YouTuber sebagai jalur prestasi untuk masuk ke perguruan tinggi harus dipertimbangkan dengan sangat matang. 

Akan ada banyak tantangan, khususnya bagi universitas tersebut (dalam hal ini UPN Veteran Jakarta) untuk menilai dan menciptakan standar serta parameter tersendiri terkait kualitas pencipta konten dan isi kontennya. Konten yang bernilai positif saja tidak cukup, karena pihak universitas jelas tidak bisa mengawasi algoritma rekomendasi YouTube yang dibuat sangat fleksibel, tergantung personalisasi setiap pengguna.

Membuat dan menciptakan konten video yang positif memang sebuah proses kreativitas yang layak dan patut dihargai. Apalagi jika konten itu bisa menginspirasi banyak pengguna, yah setidaknya minimal 10 ribu pengguna dan mungkin pula jutaan penonton lainnya. Namun, menjadikan angka ini dan isi kontennya sebagai standar jalur prestasi untuk masuk ke perguruan tinggi bukan langkah yang tepat. Mengingat banyaknya kekhawatiran terhadap konten-konten video yang ada di YouTube.

Kebijakan seperti ini juga terlihat sedikit ironis. Di tengah kekhawatiran pada budaya literasi yang sangat rendah, tawaran dari UPN Veteran Jakarta ini bisa membuat calon-calon mahasiswa dan calon sarjana mereka tak lagi banyak membaca, tapi malah berlomba membuat video dan menganjurkan generasi muda lainnya untuk menjadi generasi penonton, bukan generasi pembaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun