Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nisa, Masih Ada Lebaran di Kampung Saya

1 Juni 2019   01:01 Diperbarui: 1 Juni 2019   01:03 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (dokumentasi Himam Miladi)

"Mas Didik...!

Suara nyaring perempuan terdengar dari sebuah rumah besar di perumahan modern dekat kampus ternama di Kota Malang. Bagian depan halamannya cukup luas dan tertata rapi. Sebuah taman rumput dengan kolam ikan terdapat di sudut halaman. Di tengahnya berdiri kokoh pohon mangga yang sedang berbuah lebat. Sebuah meja taman berbentuk bundar terletak dibawah pohon mangga, dengan empat bangku kecil dari tong bekas yang dicat warna-warni.

"Iya mbak, sebentar...". Laki-laki yang dipanggil Didik ini meletakkan buku tebal yang dibacanya. Dengan ogah-ogahan dia melangkah ke luar kamarnya yang berada di belakang rumah menuju ke arah sumber teriakan yang memanggil namanya.

Apaan sih Nina ini, pagi-pagi sudah berteriak-teriak, pikir Didik menggerutu.

"Ada apa Mbak Nina?" tanya Didik sambil wajahnya melongo melihat pemandangan di depannya. Didik memang membiasakan memanggil para gadis yang indekost di rumah ini dengan panggilan Mbak.

Nina, gadis yang berteriak memanggilnya tadi sedang berdiri di atas kasurnya. Tangannya menunjuk ke arah balik pintu kamar.

"Itu....ada kecoa besar."

"Masyaallah, saya kira ada apa tadi sampai teriak-teriak segala. Mana kecoaknya?" tanya Didik sembari mengambil sebuah sandal milik Nina.

"Itu...dibalik pintu Mas."

Didik perlahan menutup pintu kamar Nina dari dalam. Benar saja, di baliknya seekor kecoak besar sedang berdiri santai. Antenanya bergerak ke kanan kiri. Seolah hendak mencari petunjuk dimana gadis cantik yang hendak ditakut-takutinya tadi.

"Plak!"

Sebuah tamparan keras dari sandal yang dipegang Didik langsung membuat kecoak banyak gaya itu tak bergerak.

"Sudah aman. Mbak Nina bisa turun."

"Makasih ya Mas," kata Nina sembari menyunggingkan senyum termanisnya.

 

***

"Mas Didik.....!"

"Iya...."

Kali ini Annisa, penghuni rumah kost yang asalnya paling jauh, dari Sumatera sana memanggil Didik. Dengan sigap, Didik mendatangi Annisa yang tengah mendongak ke atas pohon mangga di halaman depan. Buah-buah mangga gadung bergelantungan menggelayut ke bawah seolah menantang untuk dipetik.

Setengah merajuk, Annisa berkata,

"Minta tolong ambilkan mangga ya. Lima buah aja. Soalnya nanti teman-temanku mau mampir kesini. Aku bilang di kost ku pohon mangganya sedang berbuah, jadi sekalian aja mau bikin rujak."

"Iya Mbak Nisa....".

***

Bagi Didik, tak ada kata bosan dalam kamus dirinya setiap kali ia dipanggil dara-dara penghuni rumah kost yang dijaganya. Rumah kost itu milik pamannya, yang kini tinggal di Jakarta. Oleh pamannya, Didik, yang selepas kuliah gagal memenuhi cita-citanya untuk menjadi abdi negara, menjalani kehidupan sehari-hari sebagai penjaga rumah kost dengan senang hati.

Awalnya, Didik menerima tawaran pamannya dengan setengah hati. Lulus kuliah perguruan tinggi negeri terkenal, ujungnya hanya jadi penjaga rumah kost. Apalagi ketika ia melihat teman-temannya yang sukses menjadi karyawan di beberapa perusahaan bonafide atau jadi pegawai negeri.

Lambat laun, Didik menjadi terbiasa, bahkan merasa senang dan menikmatinya. Bagaimana tidak senang, jika rumah kost ini dihuni 10 orang gadis-gadis cantik dan manis. Baik hati, tidak sombong, meski kadang bikin geregetan. Seperti Nina itu. Masak sama kecoak aja takutnya setengah mati. Malah kadang-kadang sambil tersenyum sendiri di dalam kamarnya, Didik membayangkan dirinya adalah penyamun di sarang perawan.

Selain Nina dan Annisa, masih ada Dewi, Ratih, Ivone, Ayu, Wulan, Yuli, Elly, dan Mira. Kecuali Dewi dan Mira yang sudah bekerja, delapan gadis lainnya masih kuliah.

Menjadi penjaga kost yang penghuninya kaum hawa semua membuat Didik merasa dialah yang sebenarnya mengasuh mereka. Ada saja permintaan mereka. Mulai dari membenahi genteng yang bocor, memasang antena teve, membunuh kecoa, memanjat pohon mangga dan permintaan-permintaan lain yang bagi kaum laki-laki adalah hal yang remeh.

Tapi yang paling sulit bagi Didik adalah ketika dia harus menengahi pertengkaran. Oh, jangan dikira menjadi pengadil saat dua orang gadis bertengkar itu mudah. Meski tidak sampai menimbulkan gesekan fisik, tapi omongan dua wanita yang bertengkar bisa terdengar sangat tajam. Bukan kata-kata kotor, tapi kata-kata kejam nan tajam. Seperti silet yang mengiris hati.

Jika sudah begitu, Didik merasa serba salah. Memihak satu orang, dia akan dijauhi yang lain. Sungguh perkara yang tidak mudah, karena Didik bisa tidak disapa selama 7 hari 7 malam.

Meski begitu, Didik sangat menikmati suasana ramai di rumah kost yang dijaganya tersebut. Satu-satunya hari di mana Didik merasa sangat kesepian adalah ketika saat Lebaran tiba. Sewaktu anak-anak kost satu per satu pulang kampung, merayakan lebaran bersama keluarga mereka.

***

Tapi lebaran tahun ini ada yang berbeda. Dua hari menjelang lebaran, ada satu anak kost yang ternyata  tidak ikut pulang kampung. Usai melepas kepergian Nina yang hendak mudik ke kota asalnya, Didik mendapati Annisa, gadis asal Padang itu tengah termangu di sudut pintu menatap kepergian teman satu kostnya tersebut.

Dengan perlahan Didik menyapa gadis manis tersebut, "Mbak Nisa jadi pulang kampung kapan?"

"Saya nggak jadi mudik Mas," jawab Annisa sambil tersenyum muram.

"Lho kenapa? Apa nggak kangen sama keluarga di rumah?"

"Ya kangen Mas. Nisa juga pingin berlebaran sama Mamak di kampung sana. Cuma Mamak kemarin telpon Nisa, katanya tahun ini nggak usah mudik dulu. Tiketnya mahal, Mamak nggak cukup uang buat beli tiket bolak-balik," jawab Nisa sedih.

Didik menghela nafas, ikut merasakan kesedihan Annisa. Namun, ketidakpulangan Nisa juga menghadirkan dilema sendiri bagi Didik. Biasanya jika anak-anak kost pulang kampung semua, Didik juga ikut pulang ke kampungnya di pinggiran kota, hanya berjarak kurang dari 1 jam perjalanan dari rumah kost yang dijaganya itu. Sedangkan rumah kost itu ia biarkan terkunci sampai ia balik kembali.

Karena lebaran kali ini Annisa tidak ikut pulang, otomatis Didik harus ikut tinggal di rumah kost. Tidak mungkin Didik meninggalkan Nisa sendirian. Masalahnya, kalau dia harus tinggal berdua dengan Nisa di rumah kost, Didik takut terjadi sesuatu, yah minimal omongan gak enak dari tetangga atau satpam komplek perumahan.

Sepanjang hari itu Didik mencoba berpikir bagaimana enaknya menghadapi situasi rumit ini. Meskipun dia tahu Nisa sudah dewasa dan bisa ditinggal sendiri, tapi Didik merasa sudah menjadi tanggung jawab dan amanah bagi dirinya untuk menjaga rumah kost selama ada penghuninya yang tinggal disana.

Saat sahur hari terakhir puasa, Didik akhirnya menemukan jawabannya. Tapi ia takut Nisa nanti menolak usulan yang hendak ia tawarkan. Tapi, demi kebaikan bersama, Didik memberanikan diri untuk membicarakannya dengan Nisa.

"Mbak Nisa, bisa bicara sebentar?" tanya Didik usai ia melihat Nisa menyelesaikan makan sahurnya.

"Ada apa Mas?"

"Begini Mbak. Lebaran besok Mbak Nisa kan nggak pulang, jadi saya juga ikut tinggal disini. Tapi..." Didik tidak melanjutkan bicaranya. Matanya takut-takut menatap wajah Nisa.

"Tapi kenapa Mas? Gak papa kok saya ditinggal sendiri," kata Nisa.

"Bukan begitu Mbak. Ini sudah jadi tanggung jawab dan amanah saya buat jaga rumah kalau ada yang tinggal. Cuma, saya jadi gak enak kalau harus berdua sama Mbak Nisa di rumah. Gak baik Mbak...." kata Didik dengan suara perlahan.

Nisa menghela nafas. Dirinya tahu apa yang dimaksudkan Didik. Dirinya juga mengerti posisi dan tanggung jawab Didik sebagai penjaga rumah kost tersebut. Namun, dia juga tidak tahu harus menginap dimana saat lebaran nanti selain di rumah kost ini.

Lama mereka berdua terdiam dengan pikiran masing-masing. Akhirnya Didik memberanikan diri mengatakan usulannya.

"Kalau Mbak Nisa mau, Mbak Nisa bisa menginap sementara di rumah saya dan berlebaran di kampung. Tadi malam saya sudah menelpon Ibu disana, dan beliau senang kalau Mbak Nisa mau menginap. Nanti, Mbak Nisa bisa tidur di kamar adik saya yang gak jadi pulang kampung. Sama, tiketnya mahal katanya," kata Didik sambil mencoba tersenyum.

Wajah Nisa merona mendengar usulan Didik. Apa nanti kata orang, apalagi teman-teman kostnya bila mereka tahu dia menginap di rumah Didik? Tapi Nisa berpikir, cuma ini satu-satunya jalan keluar yang tepat bagi Didik, dan juga bagi dirinya.

"Nanti saya malah merepotkan keluarga Mas Didik," kata Nisa dengan menundukkan wajah. Semburat rona merah masih memancar di wajahnya.

"Nggak kok. Ibu malah senang, katanya ada teman mengobrol. Semenjak adik saya ikut suaminya merantau, Ibu sering merasa kesepian. Jangan khawatir, masih ada lebaran kok di kampung saya," kata Didik tersenyum mencoba mencairkan suasana diantara mereka. Mau tak mau Nisa juga ikut tersenyum.

"Tapi, apa Mas Didik gak khawatir dengan omongan tetangga atau teman-teman Mas disana? Kok tiba-tiba ada perempuan asing menginap di rumah?" tanya Nisa kemudian.

"Saya sudah siap kok Mbak."

"Siap bagaimana?" tanya Nisa tidak mengerti.

"Sudah siap dengan jawabannya. Karena semua teman dan tetangga tahu saya masih sendiri, kalau nanti ada yang tanya siapa Mbak Nisa, ijinkan saya menjawab "Kenalkan, ini calon istri saya".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun